[caption id="attachment_374946" align="aligncenter" width="617" caption="Jembatan Ampera. KOMPAS/AGUS SUSANTO "][/caption]
Seorang teman SMA saya datang ke Palembang untuk urusan suatu pekerjaan. Sudah sejak kami berpisah setelah lulus dari SMA, kurang lebih 44 tahun, saya dan dia tak pernah bersua muka. Karenanya, setelah urusan pekerjaannya selesai, pada sore harinya dia menelpon saya untuk mengajak ketemuan. Suasana temu kangen itu tentu seperti biasanya penuh dengan nostalgia, saling bertanya bagaimana kabar teman A, teman B, teman C yang sekelas dengan kami. Tapi di luar sentimental journey ini, ada sesuatu hal yang menarik yang baru saya sadari justru tentang kota saya sendiri, Palembang. Ini dituturkan oleh teman saya yang outsider. Memang kadang-kadang amazing, hal-hal yang sederhana tentang kota kita sendiri justru luput dari perhatian, terutama karena sudah taken for granted (dianggap lumrah).
Di hotel tempat teman saya menginap, dia bertanya kepada petugas lobby untuk pergi melihat Jembatan Ampera yang merupakan landmark kota Palembang sebaiknya memakai kendaraan apa. “Bapak bisa pakai taksi”, jawab petugas hotel. “Bisa pakai taksi yang warna merah atau yang hijau”, tambahnya. Teman saya celingukan mencari taksi warna merah atau hijau yang disebutkan tadi. Tapi tak ada satu pun, taksi yang terlihat olehnya. “Yang mana, pak?” tanya teman saya. “Yang itu”, jawab si petugas hotel sambil menunjuk ke angkot berwarna merah. “Hah, itu mah angkot!”, sahut teman saya kaget. Yah, memang angkot di Palembang selalu disebut dengan“taksi”. Lantas kalau taksi beneran disebut apa? Ya disebut taksi juga. Saya tertawa geli mendengar penuturan teman saya yang baru pertama kali datang ke Palembang ini. Dia malah berkesimpulan bahwa di Palembang tak ada taksi, yang tentu saja saya bantah, karena taksi (beneran) ada, termasuk Blue Bird Taxi.
Kota Palembang dibelah oleh sungai besar yaitu Sungai Musi. Sungai Musi merupakan urat nadi transportasi yang penting sejak dahulu kala. Tapi Anda jangan heran kalau orang Palembang tidak pernah menyebutnya dengan “sungai”, tapi mereka menyebutnya dengan “laut”. Palembang jelas tak berbatasan dengan laut, tapi mungkin untuk mengangkat gengsi, secara tidak sadar semua orang Palembang kalau mau merujuk ke arah sungai selalu mengatakan dengan sebutan “laut”. Untuk pendatang baru memang sedikit membingungkan mencoba mencerna laut mana yang dimaksudkan. Pada sungai Musi yang lebar ini di tahun 1960an, dibangun jembatan legendaris hasil dari pampasan perang Jepang. Pembangunannya cukup lama dan karena skalanya yang besar maka waktu itu orang Palembang menyebutnya dengan “proyek”. Kini setelah puluhan tahun berlalu, istilah “proyek” masih terus terbawa untuk merujuk kawasan di sekitar Jembatan Ampera, khususnya kawasan di bawah jembatan yang menjadi pusat perdagangan. Jadi kalau Anda mendengar orang Palembang mengatakan mau belanja di bawah proyek, tentu maksudnya adalah kawasan di bawah Jembatan Ampera yang setiap hari padat dipenuhi orang.
Bila suatu waktu Anda ditanya oleh orang Palembang “Bapak pulangnya ke mana?”, Anda jangan buru-buru tersinggung merasa si penanya “kepo” banget mengurusi masalah pribadi. Karena wacana “Bapak pulangnya ke mana” ini adalah cara unik orang Palembang untuk menanyakan “Bapak tinggal di mana?”. Mungkin ini bahasa eufemisme (bahasa yang diperhalus) bagi orang Palembang. Menyebut tempat tinggal kita di Palembang juga unik, karena sebagian besar wilayah di Palembang diberi nama dengan nomor dengan awalan Ilir atau Ulu. Jadi tak usah heran kalau dijawab “Saya tinggal di 16” (maksudnya wilayah “16 Ilir”), atau “Saya tinggal di 28” (maksudnya wilayah “28 Ilir”) dan seterusnya. Kalau dipikir-pikir, mirip seperti penamaan wilayah di kota New York, ada Fifth Avenue, Sixth Avenue. Nama jalan di kota Palembang juga memiliki kekhasan yang barangkali tak ada bandingannya dengan kota lain di Indonesia, yaitu banyak sekali diberi nama pahlawan tentara lengkap dengan pangkatnya, mulai dari pangkat terendah sampai tertinggi. Ada Jalan Kolonel Atmo, Jalan Kolonel Burlian, Jalan Letkol Iskandar, Jalan Mayor Ruslan, Jalan Kapten Rivai, Jalan Letda Jaimas, Jalan Sersan Sani, dan masih puluhan nama jalan lain yang bertaburan dengan pangkat militer. Itulah keunikan kota Palembang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H