Mohon tunggu...
Gustaaf Kusno
Gustaaf Kusno Mohon Tunggu... profesional -

A language lover, but not a linguist; a music lover, but not a musician; a beauty lover, but not a beautician; a joke lover, but not a joker ! Married with two children, currently reside in Palembang.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pemeriksaan Keperawanan Itu "De Facto" Ada

24 November 2014   17:33 Diperbarui: 12 September 2017   13:16 3873
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_377754" align="aligncenter" width="544" caption="Ilustrasi polwan. (Kompas.com)"][/caption]

Belum berapa lama berselang, tersiar berita gempar tentang adanya tes keperawanan bagi calon (recruits) wanita yang ingin masuk polisi. Berita ini langsung dibantah oleh Kapolri sendiri yang menyatakan bahwa tes keperawanan itu tidak ada, namun yang ada adalah tes kesehatan, dan dalam hal calon wanita, ada pemeriksaan organ reproduksi untuk menilai apakah ada gangguan/penyakit misalnya kanker serviks dsb.

Saya ingin memberikan tanggapan mengenai isu tes keperawanan ini, meskipun saya sadari, ini menyangkut hal yang sensitif. Recruitment (atau disebut juga werving dalam istilah Belanda) bukan hanya dilaksanakan pada institusi kepolisian saja, tetapi juga pada institusi angkatan bersenjata (militer), dalam hal ini TNI. Pada werving, dilaksanakan serangkaian tes, meliputi tes kesehatan, tes kesemaptaan (fitness test), tes psikologi, tes mental ideologi. Tes kesehatan untuk calon polisi/tentara memang sangat ketat, karena seluruh bagian tubuh akan diperiksa. Istilahnya, mulai dari ujung rambut sampai ke ujung jari kaki akan diteliti. Untuk itu, sudah ada buku panduan tes kesehatan yang cukup tebal berisi klasifikasi kelainan/gangguan dari masing-masing organ tubuh beserta gradasinya (grade). Grade ini ada empat, di mana grade 1 adalah yang terbaik, sedangkan grade 4 yang terburuk. Umumnya calon yang diberi nilai grade 3 atau grade 4 pasti tak lulus.

Karena saya adalah dokter gigi militer yang cukup lama terlibat dalam proses tes kesehatan werving ini, saya mengetahui dengan pasti bahwa keperawanan merupakan “syarat mutlak” bagi calon wanita yang ingin menjadi Kowad. Pada pemeriksaan dalam (istilah awam pemeriksaan organ reproduksi wanita), akan ada catatan tentang hymen (selaput dara) masih intact atau tidak intact. Bilamana ”tidak intact”, juga ada penyebutan di mana sobeknya, misalnya “jam 4 dan jam 8” (sesuai seperti gambaran angka pada jam dinding). Dan sejauh pengalaman saya, calon dengan hymen yang tak intact ini pasti akan dicoret dari kelulusan. Tak ada pertimbangan yang meringankan, misalnya sobeknya hymen ini karena kecelakaan atau olahraga dan bukan karena berhubungan. Jadi meskipun secara de jure tak ada tes keperawanan (dalam buku panduan tes kesehatan memang tak disebut “calon harus perawan”), namun secara de facto tes keperawanan ini memang ada.

Sesungguhnya pemeriksaan hymen masih intact atau tidak bukanlah ranah (domain) tim pemeriksaan kesehatan yang terdiri dokter militer dan perawat militer. Lingkup tugas mereka adalah memeriksa apakah seseorang calon memiliki kelainan/penyakit pada organ-organ tubuhnya. Dan selaput dara yang tak utuh bukanlah suatu penyakit. Dia lebih menjurus pada penilaian “moralitas” (dalam tanda kutip) yang juga menurut saya tidak fair. Ada beberapa kriteria lain yang sesungguhnya non-kesehatan, namun dipaksakan di-include pada tes kesehatan. Contohnya, soal bertato. Seperti halnya “tidak perawan”, memiliki tato di tubuh merupakan “dosa tak berampun” pada werving dan pasti gugur dalam tes. Banyak pemuda yang sampai rela tatonya diseterika (sekali lagi diseterika), agar gambar tato itu hilang. Sudah barang tentu, upaya ini sia-sia belaka, malahan di tempat itu menjadi jaringan parut (cicatrix) yang lebih buruk lagi penampilannya. Ada usulan kepada mabes TNI, agar tato ini tidak dimasukkan pada syarat kesehatan, mengingat pada beberapa suku di Indonesia ada adat merajah (men-tato) tubuhnya, misalnya pada suku Dayak. Namun usulan ini masih belum diterima, dengan pertimbangan tato merupakan manifestasi dari moralitas yang diragukan integritasnya (mungkin bekas preman dsb).

Apa lagi kriteria non-medis yang juga dipaksakan masuk pada tes kesehatan? Yaitu cuping telinga pada calon laki-laki tidak boleh bertindik, sedangkan pada calon wanita tidak boleh bertindik lebih dari satu lubang (misalnya dua, atau tiga lubang pada satu sisi daun telinga). Tindik (pierce) di tempat lain (di hidung, di lidah, di pusar dll) juga dilarang. Ini juga bukan alasan medis, namun alasan moral. Calon laki-laki yang memakai hiasan tindik di telinga, apalagi yang berderet-deret, diasumsikan sebagai “anak nakal”. Akibatnya, cukup sering saya melihat calon laki-laki yang mengikuti werving menutup lubang tindik ini dengan jahitan operasi.

Inilah sedikit tanggapan saya berkaitan dengan kontroversi tes keperawanan pada rekrutmen polisi dan militer. De facto praktik ini ada dan menjadi faktor utama untuk menggugurkan calon wanita yang bercita-cita ingin menjadi Polwan atau Kowad. Jadi kalau institusi Kepolisian/TNI mau sungguh-sungguh konsekuen dengan pernyataannya, maka klausul persyaratan hymen harus intact, bersama-sama juga soal tato dan tindik telinga, harus dihilangkan pada buku panduan test kesehatan. Mudah-mudahan urun pemikiran ini bermanfaat bagi kita semuanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun