Mohon tunggu...
Gustaaf Kusno
Gustaaf Kusno Mohon Tunggu... profesional -

A language lover, but not a linguist; a music lover, but not a musician; a beauty lover, but not a beautician; a joke lover, but not a joker ! Married with two children, currently reside in Palembang.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Tak Jemu-jemunya Saya Mengkritik Bahasa Media Massa

21 Januari 2015   23:19 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:39 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengkritik kerancuan bahasa pada media massa yang tiada habisnya, membawa risiko akan dicap sebagai orang bawel sok pintar berbahasa. Ini konsekuensi yang saya sadari dari semula, meskipun dalam hati kecil sebetulnya saya mengharapkan adanya ucapan terima kasih dari media massa tersebut sudah diberi masukan. Namun, tak apalah, diacuhkan, diperenguti atau dimusuhi saya sudah siap mental. Saya yakin good intention (maksud baik) pasti akan membawa hasil yang baik pula, sekali pun ini sekadar urusan bahasa.

Ada contoh menarik tentang kesalahan pengejaan istilah bahasa Inggris di media online detikcom. Ini berita tentang selebritas Nikita Mirzani yang terpaksa harus menjalani sisa lima bulan hukuman penjaranya, karena bandingnya di MA ditolak. Di situ dituliskan Nikita Mirzani menyatakan sudah membawa segala perlengkapan pakaian dan kebutuhan sehari-harinya. Inilah kutipan yang tertulis di detikcom: “Ini ada peralatan aku, body lotion, ada bra, ada underware, ada pakaian tidur.” Hah, apa itu “underware”? Rupanya yang dimaksudkan adalah “underwear” alias “pakaian dalam”, namun oleh sang wartawan yang mewawancarainya ditulis dengan “underware”. Karena kita memadani kata “hardware” dengan “perangkat keras” dan “software” dengan “perangkat lunak”, maka istilah “underware” membuat otak berasosiasi liar memadaninya menjadi “perangkat bawah”.

Ada lagi penerjemahan yang terasa aneh di koran Kompas beberapa hari berselang. Kata “handgun” diterjemahkan menjadi “senjata genggam”. Membayangkan saja saya sudah tertawa karena keabsurdan istilah “senjata genggam” ini. Saya tengarai si wartawan memakai analogi bahwa kalau “handphone” diindonesiakan menjadi “telepon genggam”, maka dengan sendirinya “handgun” bisa diindonesiakan menjadi “senjata genggam”. Kalau dia mau sedikit repot meluangkan waktu untuk merujuk pada kamus, maka akan jelas disebutkan bahwa “handgun” adalah “pistol” dan terjemahan “pistol” inilah yang seyogianya dipakainya. Bukan “senjata genggam”.

Masih di koran Kompas, di halaman depan (headline) tentang upaya tim Basarnas melacak bangkai pesawat AirAsia di dasar lautan, di situ disebutkan digunakan “ping allocator”. Ini kesalahan penulisan yang rada memalukan karena setiap hari di televisi sudah disebut-sebut oleh tim Basarnas. Tentunya yang benar adalah “ping locator” atau kalau mau lebih akurat lagi adalah “pinger locator”. Kita pasti mafhum bahwa locator bermakna “pelacak lokasi”, sedangkan allocator bermakna “pemberi alokasi/jatah” yang tentu tidak “nyambung” dengan konteks pencarian pesawat yang tenggelam di dasar Laut Jawa.

Pada media online detikcom berkenaan dengan penanganan pecandu narkoba disebutkan ada metoda “Cold Turkey” yaitu penderita yang sedang sakau sengaja memang tidak diberi obat apa pun, meskipun dia sangat menderita. Cold Turkey ini diindonesiakan menjadi “Kalkun Pilek” yang membuat saya menjadi ngakak jungkir balik. Sebutan cold turkey sebetulnya berasal dari kondisi kulit pencandu narkoba yang dingin, lembab dan berbintik-bintik kecil bak merinding seperti pada kulit daging ayam kalkun yang dibekukan. Jadi tak ada kaitannya dengan “pilek”. Memang benar istilah cold bisa bermakna “pilek”, namun harus diingat kalau kita mau mengatakan orang yang pilek, kita tidak menyebutnya dengan “a cold man” namun dengan “a man with a cold”. Begitulah analogi yang bisa dipakai untuk argumentasi terhadap “cold turkey”.

Pagi ini, membaca rubrik Teroka di Kompas yang membahas tentang filosofi ayam yang dahulu dikaitkan dengan kearifan alam, namun sekarang tidak lagi, tersua kutipan sebagai berikut: Ayam masih ada. Namun, tidak bebas hidup sebagai carnivora yang bisa mencari dan melahap apa saja. Sepanjang pengetahuan saya, “carnivora” adalah “binatang pemakan daging”, sedangkan “binatang pemakan segala” adalah “omnivora”. Jadi, kesimpulannya telah terjadi kerancuan penyebutan ayam yang sebetulnya “omnivora” (pemakan segala) dengan “carnivora” (pemakan daging). Dalam hal ini, mungkin editornya agak melamun, sehingga kecolongan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun