Mohon tunggu...
Gustaaf Kusno
Gustaaf Kusno Mohon Tunggu... profesional -

A language lover, but not a linguist; a music lover, but not a musician; a beauty lover, but not a beautician; a joke lover, but not a joker ! Married with two children, currently reside in Palembang.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menko Polhukam Tedjo Mengatakan Ada Rakyat yang Tidak Jelas?

25 Januari 2015   22:54 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:23 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Para pejabat negara hari-hari ini mungkin semakin menyadari bahwa bahasa memang lebih tajam daripada pedang, yang bahkan bisa melukai diri sendiri. Sekali pun apa yang diucapkan secara sintaksis sudah benar, sangat terbuka dan rawan ucapannya ini diorkestrasi (dipelintir) di luar konteks (out of the context) dan di luar interpretasi bahasa. Dan inilah salah satu contoh ucapan seorang pejabat yang ditelikung dengan “cerdik” oleh lawan politiknya, sehingga menimbulkan kemarahan publik. Frasa (potongan kalimat) yang dicomot dari ucapan Menko Tedjo tersebut adalah “rakyat yang tidak jelas”. Mendengar istilah “rakyat yang tidak jelas” pasti semua akan tersinggung berat, seolah-olah mengatakan simpatisan yang berkumpul menyuarakan dukungan kepada KPK adalah “gerombolan orang liar”.

Untuk mendudukkan perkaranya secara lebih berimbang, seyogianya kita mendengar kembali rekaman ucapan Menko Polhukam secara lengkap. Menko Tedjo mengucapkan pernyataan ini dalam konteks himbauan pimpinan KPK kepada para pendukung, sehari sebelumnya, untuk mengamankan KPK. Untuk itu, Menko Tedjo mengeritik tindakan pimpinan KPK yang “membakar” massa pendukungnya dan mengatakan hal ini sebagai tindakan kekanak-kanakan. Selanjutnya inilah kutipan dari ucapannya: “Berdiri sendiri. Kuat dia. Dia kan didukung. Konstitusi yang mendukung. Konstitusi yang mendukung. Bukan dukungan rakyat yang tidak jelas itu.”

Sekarang kita kaji secara tata bahasa, yang dirujuk sebagai “tidak jelas” itu, “dukungan” ataukah “rakyat” dengan membaca kutipan di atas? Mungkin, akan ada dua opini yang menanggapinya, yaitu (1) mengatakan “dukungan yang tidak jelas” dan (2) mengatakan “rakyat yang tidak jelas”. Namun kalau berpegang pada pedoman makna leksikal bahasa kita, sesungguhnya yang benar adalah “dukungan yang tidak jelas”. Jadi, bukan “rakyat yang tidak jelas”. Saya mengambil analogi sebuah potongan kalimat sebagai berikut: “rekening polisi yang gendut itu”. Pada pemahaman Anda, yang “gendut” itu “rekeningnya” atau “polisinya”? Saya kira, Anda akan sepakat bahwa frasa ini membawa permaknaan “rekening gendut”, bukan “polisi gendut”. Sekarang, given dengan frasa “dukungan yang tidak jelas” ini, apakah khalayak patut merasa marah? Boleh jadi, publik juga tersinggung, meskipun tak seberat disebut sebagai “rakyat yang tidak jelas”. Inilah yang saya maksudkan, bahwa seorang pejabat negara harus sangat hati-hati dan prudent di dalam merangkai kalimat dan berbahasa. Dalam kecermatan berbahasa, saya harus mengangkat topi kepada mantan presiden SBY, yang sangat sistematis dan terstruktur dalam berbahasa.

Adakah contoh lain dalam berbahasa yang menimbulkan kehebohan publik karena berhasil dipelintir oleh lawan politik dengan cerdik. Saya kira kita semua masih ingat twitter Fahri Hamzah yang berkicau menanggapi janji calon presiden Jokowi untuk menjadikan 1 Muharam sebagai Hari Santri. Inilah kutipan lengkap kicauan (twit) Fahri Hamzah: Jokowi janji 1 Muharam hari Santri. Demi dia terpilih, 360 hari akan dijanjikan ke semua orang. Sinting! Membaca tulisan ini, langsung disebarluaskan oleh lawan politiknya bahwa Fahri Hamzah mengatakan “Jokowi sinting” atau “Santri sinting” atau “Perbuatan menjadikan 1 Muharam sebagai hari Santri itu sinting”. Secara sintaksis, kata “sinting” ini berdiri sendiri. Ini menandakan bahwa si penyampai ucapan ini, bukan sedang sedang mengumpat seseorang, atau mengumpat suatu perbuatan. Yang diumpatnya adalah suatu kondisi atau situasi. Misalnya, kita berkata atau menulis: Sekarang macet total di jalan tol dan polisi gak kelihatan. Gila! Tentu yang kita umpat dengan “gila” di atas adalah “situasinya”, bukan “polisinya”. Sekali lagi, inilah “jebakan bahasa” (pitfall) yang harus diwaspadai oleh pejabat publik. Benar secara tatabahasa belum cukup, tetapi harus cermat dan saksama terhadap kemungkinan kalimat ini dipelintir dan direkayasa. Contoh dua kasus di atas menunjukkan bahwa bahasa tidak bisa dianggap enteng dan digampangkan. Betapa pun validnya argumentasi bahasa yang dikemukakan sebagai pembelaan, bila opini publik sudah terbentuk dan kerusakan sudah terjadi (the damage has been done), sangat sulit untuk membetulkan dan meluruskannya kembali.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun