Hukum di Indonesia sudah seharusnya dalam tingkatan modernisasi, sehingga RUU Omnibus Law Cipta Kerja sangat dibutuhkan dalam menuju percepatan dan akselerasi ekonomi social, karena dapat mendorong industri padat karya yang banyak menyerap lapangan kerja ditengah ketidakpastian global maupun dinamika didalam negeri.
Selain itu, kebijakan Omnibus Law merupakan cara Pemerintah untuk menyederhanakan berbagai regulasi yang umumnya berbelit dan saing tumpang-tindih, sehingga dapat memberikan kepastian hukum bagi dunia usaha di Indonesia.
Sebagai contoh, UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerajaan yang beberapa pasalnya menghambat dan menakuti investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Padahal, bentuk investasi merupakan bagian dari pembangunan dan usaha pencapaian keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Banyak pihak berkepentingan menganggap RUU Omnibus Law merupakan suatu momok yang menakutkan sehingga memicu kepanikan berbagai pihak yang merasa dirugikan, sehingga mendorong terjadinya pro dan kontra terhadap rancangan tersebut.
Padahal jikapun terdapat pasal yang dianggap merugikan publik, maka dapat dilakukan pengajuan gugatan atau judicial review, sehingga tidak perlu membuat opini seakan-akan Omnibus Law ini adalah momok yang menakutkan.
Sudah sangat baik setiap stakeholder yang berperan dalam pembahasan Omnibus Law, termasuk yang menginisiasinya, sehingga perlu mendapatkan apresiasi, dan mengingat negara Indonesia adalah negara hukum dan negara demokrasi, maka sebaiknya pembahasan RUU ini membuka ruang dialog dan partisipasi publik yang luas, agar tidak ada pasal-pasal yang dapat disalahartikan dalam RUU ini.
Jangan sampai kelompok buruh dan BEM "dipolitisasi dan dikapitalisasi" kelompok kepentingan tertentu, dibalik penolakan RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Akan tampak lebih elegan jika kelompok buruh dan NGO sejumlah 93 organisasi yang melakukan penolakan RUU Omnibus Law Cipta Kerja bisa berdiskusi dan mencari solusi bersama dengan pemerintah dan DPR-RI.
Sementara itu, DPR-RI juga harus transparan dalam membahas RUU yang sensitif ini, agar RUU ini benar-benar bukan "momok yang menakutkan". Jika RUU ini dibahas terlalu cepat, tidak teliti dan sembarangan, maka ongkos Ipoleksosbudhankam yang akan diterima Indonesia ke depan akan "sangat mahal", Jadi jangan pernah dicoba membahasnya tanpa partisipasi publik.
Prioritas pelaksanaan dialog dan partisipasi publik bukan dalam bentuk aksi unjuk rasa terhadap RUU ini sangat penting karena Indonesia masih dimasa pandemi Covid 19. Disamping itu, upaya dialog, diskusi dan kegiatan mengkritisi secara ilmiah serta konstruktif terkait RUU ini adalah pilihan logis, moderat, modern dan beradab dibandingkan menggelar aksi-aksi tekanan massa ditengah pandemi Covid 19, yang mungkin dapat berimplikasi hukum (dibubarkan paksa aparat dan pelakunya dihukum, karena sudah ada maklumat Kapolri) juga akan semakin memperburuk kondisi perekonomian, karena diakui atau tidak, PHK massal bisa menghantui kalangan buruh, sehingga lebih baik berdedikasi dengan bekerja secara baik di lokasi kerja masing-masing daripada menggelar aksi unjuk rasa atau tekanan massa lainnya.
Gambaran tersebut diharapkan dapat mendorong proses perumusan kebijakan Omnibus Law dapat berjalan baik dan tidak menimbulkan banyak kegaduhan karena kebijakan Omnibus Law bukanlah konsep yang menakutkan.
Kelompok yang resisten terhadap kebijakan Omnibus Law terutama kelompok yang merasa dirugikan diharapkan dapat lebih membuka diri untuk menerima perubahan-perubahan dalam dinamika global karena jika tidak cepat beradaptasi, maka dapat dipastikan akan semakin tertinggal dan sulit bersaing dengan negara lain di dunia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H