Pria yang cenderung mengedepankan logika dan wanita yang mengutamakan perasaan adalah fenomena universal yang sering kali menjadi sumber keunikan sekaligus tantangan dalam hubungan. Perbedaan ini bisa menjadi kekuatan jika dipahami dengan baik, namun bisa pula memicu konflik jika tidak dikelola dengan bijak. Maka, pertanyaan yang muncul adalah: dimana titik temunya?
Pria umumnya mengandalkan logika untuk mencari solusi, sementara wanita memproses masalah dengan melibatkan perasaan. Pria cenderung fokus pada what to do atau tindakan konkret yang dapat menyelesaikan masalah secara langsung. Sedangkan wanita lebih sering mengeksplorasi how I feel, mencari empati dan validasi emosional sebelum beralih ke solusi.
Perbedaan ini memengaruhi hampir semua hubungan, baik suami-istri, orang tua-anak, maupun hubungan profesional. Di sini, titik temu bukan hanya relevan bagi pasangan romantis, tetapi juga dalam hubungan interpersonal secara umum.
Perbedaan yang unik tersebut disebabkan oleh faktor biologis, budaya dan pola asuh, serta peran sosial. Secara biologis menurut penelitian neurologis, pria memiliki konektivitas otak yang lebih terpusat pada pemrosesan logis, sementara wanita memiliki konektivitas yang lebih seimbang antara logika dan emosi.Dari sisi budaya dan pola asuh laki-laki sering kali diajarkan untuk tidak terlalu ekspresif secara emosional, sementara perempuan dibiasakan untuk menunjukkan dan memahami perasaan. Sedangkan dalam peran sosial dimasyarakat, pria sering dilihat sebagai problem solver atau pelindung, sedangkan wanita dianggap sebagai pengasuh yang penuh empati.
Ketidakseimbangan dua kondisi tersebut dapat terjadi pada saat terjadi konflik, kondisi stress dan saat pengambilan keputusan. Saat terjadi konflik pria fokus mencari solusi, sedangkan wanita justru ingin didengarkan. Pada saat mengalami stres, wanita akan berbicara untuk meluapkan emosi, hal ini sering dianggap pria terlalu berlebihan. Ketidakseimbangan juga dapat terjadi saat mengambil keputusan, dimana pria yang menggunakan logika murni sering kali tidak mempertimbangkan dampak emosional, sementara wanita mungkin terlalu dipengaruhi oleh perasaan.
Lalu dari ketidakseimbangan tersebut dimana titik temunya? Titik temu dari ketidakseimbangan tersebut dapat dicapai dengan beberapa langkah berikut :
Pertama, dengan memahami perbedaan sebagai kekuatan. Pria dan wanita adalah dua sisi mata uang yang saling melengkapi. Pria memberikan struktur dan solusi, sementara wanita memberikan warna dan empati. Dengan saling menghargai, hubungan menjadi lebih seimbang.
Kedua, dengan menerapkan teori Active Listening. Pria dapat belajar untuk mendengarkan keluhan wanita tanpa buru-buru menawarkan solusi, melainkan memberikan validasi perasaan terlebih dahulu. Sebaliknya, wanita dapat mencoba menerima solusi pria sebagai bentuk kepedulian, bukan pengabaian. Misalnya ketika sang istri mengucapkan kalimat  "Aku capek banget hari ini, rasanya nggak sanggup." Dari sisi suami hendaknya menjawab dengan kalimat "Aku ngerti kamu capek. Aku ada untukmu. Ada yang bisa aku bantu sekarang?"
Ketiga, dengan menggunakan komunikasi yang jelas dan saling menguatkan. Menurut Communication Accommodation Theory, gaya komunikasi yang saling menyesuaikan dapat mengurangi konflik. Pria dapat belajar menyisipkan elemen emosional dalam logikanya, sementara wanita dapat menyusun perasaannya secara lebih sistematis. Dalam hal ini dapat dicontohkan ketika suami menyampaikan kalimat "Aku merasa kita perlu lebih sering ngobrol soal ini. Aku paham kamu merasa kecewa.". Maka jawaban istri selayaknya seperti ini "Aku setuju, kita perlu cari waktu untuk diskusi. Tapi aku butuh kamu benar-benar mendengarkan aku dulu."
Keempat, dengan mengembangkan empati dari kedua pihak. Empati bukan hanya tugas wanita. Pria dapat melatih empati dengan mencoba memahami bagaimana pasangan merasa, sementara wanita dapat berempati dengan cara memahami sudut pandang logis pria. Jika dipraktikan sang suami dapat memilih kalimat berikut : "Aku ngerti kenapa kamu sedih soal ini." Sedangkan istri merespons dengan kalimat, "Aku paham kenapa kamu fokus ke solusinya dulu."
Kelima, dengan meningkatkan spiritualitas bersama. Dalam psikologi Islam menekankan pentingnya husnudzan (prasangka baik) dan komunikasi yang dilandasi kasih sayang (rahmah). Pasangan dapat mengatasi perbedaan ini dengan mengingatkan diri bahwa tujuan hubungan adalah saling mendukung dan menguatkan. Untuk itu perlu untuk dilakukan kegiatan ibadah dilanjutkan doa bersama yang dipimpin suami sebagai imam dan kepala keluarga, serta saling mendoakan saat berjauhan, dan berdiskusi dengan hati yang tenang.