Pilkada Serentak 2024 menjadi tantangan tersendiri bagi perantau di Indonesia. Sebagai warga negara, mereka memiliki hak suara, namun regulasi pemilu saat ini sering kali menjadi penghalang. Aturan yang mengharuskan pemilih mencoblos di TPS sesuai domisili KTP membuat jutaan perantau terancam kehilangan hak pilih mereka. Persoalan ini tidak hanya dialami oleh mahasiswa, tetapi juga oleh pekerja swasta, Aparatur Sipil Negara (ASN), dan profesi lainnya yang tersebar di berbagai daerah.
Tuntutan Mahasiswa Perantau
Sebagai salah satu kelompok yang terdampak, mahasiswa perantau baru-baru ini mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam sidang yang berlangsung Oktober 2024, mereka mempersoalkan Pasal 62 dan Pasal 95 UU Pilkada yang dinilai menghambat perantau untuk mencoblos. Para mahasiswa ini, yang berasal dari Universitas Islam Indonesia (UII), mengusulkan dua solusi: pendataan khusus untuk perantau agar mereka bisa memilih di TPS setempat dengan surat suara daerah asal atau pengakuan pindah domisili sementara.
Salah satu pemohon menyatakan, "Sebagai pemilih aktif, kami hanya ingin memastikan suara kami tetap terdengar di kampung halaman. Regulasi saat ini terasa kurang adaptif dengan mobilitas masyarakat yang semakin tinggi." Usulan ini menunjukkan bahwa inklusivitas menjadi tuntutan dalam penyelenggaraan Pilkada serentak.
Fakta Tentang Perantau
Pada tahun 2022, Indonesia mencatatkan jumlah pekerja sirkuler (perantau) yang cukup signifikan. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), terdapat sekitar 3,2 juta orang yang terlibat dalam mobilitas tenaga kerja spasial nonpermanen, yang meliputi pekerja sirkuler, komuter, dan migran lainnya. Pekerja sirkuler adalah mereka yang berpindah dari satu wilayah ke wilayah lain secara periodik untuk bekerja, tanpa niat untuk menetap di tempat tujuan. Selain itu terdapat mahasiswa yang juga sebagai perantau . Pada tahun 2022, Indonesia memiliki sekitar 9,32 juta mahasiswa di seluruh perguruan tinggi, dengan sebagian besar di antaranya merupakan mahasiswa perantau yang berasal dari luar provinsi asalnya. Â
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tersebut menunjukkan tingginya angka migrasi domestik di Indonesia, yang sebagian besar adalah penduduk usia produktif. Mobilitas ini mencerminkan dinamika sosial-ekonomi yang tidak selaras dengan kebijakan pemilu saat ini.
Dalam pemilu sebelumnya, masalah ini sudah diangkat, tetapi hingga kini solusi konkret belum terlihat. Survei menunjukkan bahwa banyak perantau enggan mengurus surat pindah memilih karena prosedurnya rumit dan memakan waktu. Akibatnya, partisipasi politik kelompok ini dikhawatirkan rendah terutama dalam hal ini Pilkada serentak yang akan datang.
Solusi dan Harapan
Mengatasi kendala ini, beberapa pihak mengusulkan penggunaan teknologi seperti e-voting atau TPS khusus untuk perantau. Meski masih dalam tahap kajian, teknologi bisa menjadi jawaban jangka panjang untuk memastikan inklusivitas demokrasi. Hakim MK juga sempat mengangkat potensi e-voting dalam sidang gugatan mahasiswa, menegaskan perlunya modernisasi dalam pemilu.
Pilkada serentak 2024 adalah peluang bagi pemerintah untuk membuktikan komitmen terhadap hak politik seluruh warga negara. Dengan mobilitas yang tinggi dan kontribusi ekonomi para perantau bagi daerah asal maupun tempat tinggal mereka sekarang, memastikan hak pilih mereka terlaksana adalah bentuk penghormatan terhadap prinsip demokrasi yang adil dan setara. Â
Semoga asa para perantau dapat menjadi pijakan perubahan menuju pilkada yang lebih inklusif dan adaptif terhadap realitas masyarakat Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H