Mohon tunggu...
Agus Rodani
Agus Rodani Mohon Tunggu... Operator - Seorang ASN Yang Selalu Antusias Untuk Berubah Lebih Baik

sebagai Kontributor menulis Opini pada Surat Kabar Harian Pontianak Post, Penulis Artikel terproduktif pada Website DJKN dan penulisan lainnya

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Dampak Kolapsnya Silicon Valley Bank terhadap Industri Perbankan Indonesia

16 Maret 2023   14:40 Diperbarui: 16 Maret 2023   15:02 523
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Baru-baru ini santer diberitakan bank terbesar keenam belas di Amerika Serikat kolaps. Kebangkrutan Silicon Valley Bank (SVB) disinyalir disebabkan banyaknya penarikan dana yang dilakukan oleh perusahaan start up untuk menjaga likuiditas keuangan perusahaannya. Selain itu, dampak dari pandemik Covid 19 yang melanda tiga tahun sebelumnya dan memanasnya geo politik antara Rusia dan Ukraina sebagai penyebab naiknya harga barang dan jasa.

Kenaikan harga barang dan jasa karena kurangnya pasokan baik dari lokal dan luar negeri mengakibatkan terjadinya inflasi. Guna mengatasi inflasi setiap negara memikili kebijakan masing-masing. Kebijakan bisa berupa Bank Sentral menaikkan suku bunga dengan tujuan mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat. Penetapan suku bunga yang tinggi untuk mengurangi masyarakat meminjam atau menghabiskan uang secara berlebihan. Selain itu, dapat mengurangi permintaan barang dan jasa sehingga produsen cenderung untuk menurunkan harga.

Sedikit informasi tentang SVB adalah bank yang khusus menyediakan layanan untuk pendanaan perusahaan teknologi rintisan start up. Bank ini berkantor pusat di Santa Clara, California, Amerika Serikat. Berdiri sekitar Tahun 1980. Pada awal berdirinya usaha utamanya pembiayaan real estate. Dikarenakan usaha properti mengalami anjlok pada tahun 1992, SVB beralih pembiayaan pada sektor perusahaan teknologi rintisan pada Tahun 2000 sampai dengan kolapsnya SVB.

Berdasarkan beberapa sumber yang penulis dapatkan, penyebab utama kolapsnya SVB adalah kebijakan Bank Sentral Amerika Serikat. Federal Reserve telah menaikkan suku bunga dari rekor terendahnya sejak tahun 2022 dalam upayanya untuk menekan inflasi. Hal ini menyebabkan para investor cenderung takut mengambil risiko dimana uang tunai yang tersedia menjadi mahal karena suku bunga yang tinggi. Hal ini berdampak para investor pada perusahaan rintisan teknologi start up sebagai klien utama SVB memilih hengkang dalam upaya menghindari risiko.

Banyaknya klien SVB menarik uang untuk memenuhi kebutuhan likuiditas mengakibatkan SVB kesulitan untuk menyediakan dana penarikan tersebut. Upaya SVB untuk memenuhi melalui penjualan sahamnya yang bernilai 2,25 miliar dollar AS. Namun yang terjadi saham tersebut turun nilainya sampai dengan 60 persen sehingga perusahaan yang berniat membeli saham tersebut batal dan penjualan saham mengalami kegagalan. Akhirnya SVB mencari alternatif pendanaan lain dengan penjualan perusahaan, akan tetapi Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC) malahan mengumumkan untuk menutup SVB.

Lalu bagaimana dampak kolapsnya SVB dengan industri perbankan Indonesia? Berdasarkan pendapat dari beberapa Pakar Ekonomi Indonesia, Menteri Keuangan Republik Indonesia dan Kepala Eksekustif Otoritas Jasa Keuangan (OJK), penulis dapat simpulkan sebagai berikut : 

1. Sejak terjadinya krisis pada tahun 1998, industri perbankan Indonesia mengalami perombakan/ perbaikan besar-besaran. Sistem perbankan di Indonesia menjadi kuat, resilien dan stabil. Hal ini tercermin dari kinerja perbankan di Indonesia terjaga dengan baik dan tumbuh positif di tengah tekanan ekonomi baik domestik maupun global.

2. Perbankan di Indonesia tidak memiliki hubungan langsung sebagai pemegang investasi atau hubungan bisnis langsung dengan SVB. Klien SVB sebagian besar adalah perusahaan teknologi rintisan start up.

3. Likuiditas rata-rata perbankan di Indonesia sangat baik. Pada September 2022 rasio alat likuidasi terhadap dana pihak ketiga (AL/DPK) masih tinggi mencapai 27,35 persen. Aset perbankan juga terjaga pada komposisi yang proporsional dengan komposisi Dana Pihak Ketiga (DPK) didominasi oleh current account and saving account (CASA) atau dana murah yang semakin meningkat sehingga tidak sensitif terhadap pergerakan suku bunga.

Hasil pemantauan perkembangan indikator terkait kondisi perekonomian dan keuangan baik domestik, regional maupun global sesuai Laporan Ekonomi dan Keuangan untuk periode tanggal 6 sampai dengan 15 Februari 2023 yang dibuat Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan dapat disampaikan bahwa indeks saham di Amerika Serikat, Eropa dan Asia mayoritas bergerak melemah. Kekhawatiran terhadap resesi menjadi sentimen utama di pasar saham global;  Indeks  Dollar AS dan yield US Treasury menguat di tengah sinyal hawkish yang disampaikan oleh the Fed. Harga komoditas minyak mentah dan CPO menguat. Sebaliknya, harga batu bara melemah dalam sepekan, di tengah masih lemahnya permintaan dan prakiraan cuaca di Eropa yang lebih hangat.

Di pasar keuangan domestik, IHSG melemah 0,45 persen dengan yield SUN seri benchmark bergerak naik antara 9 bps hingga 15 bps dibandingkan pekan sebelumnya. Sementara itu, nilai tukar rupaih melemah sebesar 1,62 persen. Dari perekonomian global, perkembangan pertumbuhan ekonomi tahun 2022 bervariasi di berbagai negara dengan berbagai risiko yang masih harus diwaspadai. Dari dalam negeri, perekonomian domestik melanjutkan tren penguatan yang tercermin dari sejumlah indikator konsumsi masyarakat yang tetap posistif. Selain itu, cadangan devisa Indosneia periode Januari 2023 semakin meningkat.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, penulis mencoba memberikan pandangan  dampak kolapsnya SVB terhadap industri perbankan Indonesia sebagai berikut :Indonesia harus waspada dan berhati-hati terhadap dampak yang ditimbulkan dari kolapsnya SVB terhadap perekonomian dan keuangan Indonesia. Secara umum belum akan mendorong pelemahan PDB Indonesia kecuali apabila krisis perbankan ini menjadi trigger lanjutan dari krisis global seperti tahun 2008. Pembuat kebijakan (regulator) harus segera bertindak cepat memitigasi dampak dari risiko volatilitas akibat kolapsnya SVB.

Kolapsnya SVB dapat menyebabkan investor akan cenderung lebih berhati-hati dan selektif untuk mendanai start up di tanah air. Akan terjadi potensi penurunan sari sisi pendanaan perusahaan start up di Indonesia akibat sentimen negatif dari kejadian kebangkrutan SVB ini.  Kabar baiknya regulator AS akan menanggung dana deposan.

Kasus SVB dapat menjadi pelajaran penting terkait concentrated risk serta risiko dari kepemilikan obligasi di sektor perbankan. Apa yang terjadi pada SVB setidaknya dapat menjadi studi kasus untuk para pengambil kebijakan moneter dan keuangan di tanah air. Permodalan bank jangan terfokus pada sumber yang berasal dari satu sektor saja. Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) harus terus memonitor perkembangan penanganan SVB, sekaligus mempersiapkan semua alternatif respon atas semua kemungkinan yang bisa terjadi guna meminimalkan dampaknya ke pasar keuangan dan perekonomian Indonesia.

Demikian yang dapat penulis sampaikan. Harapan penulsi semoga kejadian kolapsnya SVB bisa menjadi pelajaran yang berguna dalam memitigasi risiko kemunghkinan terjadinya krisis likuiditas perbankan di Indonesia sehingga industri perbankan di INdonesia menjadi kuat dan sehat sebagai motor pembiayaan pembangunan Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun