Sore-sore saya membaca pesan WA dari istri di ujung sana, " Sedih ges, Harga telur ayam turun terus ges." Â Saya tanya balik," Kok bisa memang berapa harganya sekarang?" Dibalas " Harga Rp 23.000 sekarang, kalau turun terus jadi sedih nih."
Tidak lama setelah chatt-chatt saya coba mencari informasi tentang harga telur ayam ras per hari itu, dan memang informasi yang saya dapat dari aplikasi pinsar harga perkilo gram telur ayam ras mengalami penurunan, bahkan harga hari itu saja para pemilik ayam petelur sudah rugi.
Perhari ini saya punya 485 ekor ayam yang tadinya 500 ekor, sudah mati 15 ekor dan hari ini ada beberapa ekor yang dalam perawatan, sakit lumpuh.
Perhari ini hasil telurnya 90% artinya setiap hari kandang saya mampu menghasilkan kurang lebih 436 butir telur ayam. Rata-rata perkilo adalah antara 16 sampai 17 butir telur.Â
Kalau 436 butir telur dibagi 16 maka dalam sehari kandang saya mampu menghasilkan 27 kilogram telur ayam.
Kalau mengikuti harga diatas, maka 27 kg dikalikan Rp. 22.500 menjadi Rp. 607.500 perhari.
Ayam-ayam saya sudah menginjak usia satu tahun dikandang, kebutuhan pakan perhari kurang lebih 140 gram perekor ayam perhari, berarti perhari saya harus menyiapkan 140 gram dikali 485 ekor ayam. Jadi kurang lebih 67,9 kg pakan sehari. Kalau harga pakan Rp 7000 perkilo maka biaya pakan perhari adalah RP 475.300
Belum dikurangi biaya listrik dan yang bekerja maka hasil sehari adalah Rp 607.500 dikurangi Rp 475.300 menjadi Rp 132.200
Angka 132.200 rupiah itu belum biaya listrik dan ongkos yang bekerja, belum lagi yang harus disisihkan untuk biaya balik modal awal investasi pullet dan kandang.
Kalau harga terus bertahan seperti sekarang atau bahkan lebih turun dari harga tersebut, bisa dipastikan akan banyak peternak ayam petelur yang akan gulung tikar seperti waktu hantaman harga tahun lalu yang mencapai Rp 19.000 perkilogram.
Saya jadi mikir.
Apakah mungkin turunnya harga telur seiring dengan kenaikan harga beras yang semakin tinggi, sehingga masyarakat menengah kebawah yang paling kena dampak dari ketidakpastian ini harus memilih antara kenyang dengan nasi terlebih dulu, Â baru asupan protein nanti dulu?.
Posisi saya saat ini masih beruntung karena saya masih bekerja di satu perusahaan.
Bagi peternak sekala kecil dan menggantungkan hidupnya dari beternak ayam petelur, apa kuat mereka menanggung biaya produksi harian yang cenderung konstan bahkan beranjak naik?.
Belum lagi barangkali bagi peternak yang harus nyicil pinjaman modal dari bank.
Berharap agar harga telur akan naik kembali, agar tidak semakin banyak peternak sekala kecil yang berguguran karena harus menanggung ongkos produksi yang tinggi sementara harga telur semakin turun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H