Mungkin ada hal penting yang akan disampaikannya, dan harus saya segera kerjakan. Mungkin akibat keterlambatan saya tiba di lokasi, pikir saya lagi.
Terlambat tiba di proyek memang tidak menyamankan perasaan saya, meski tidak ada ketentuan waktu yang berlaku mutlak setiap hari terhadap saya ketika bekerja di proyek ini. Memang, tugas utama saya adalah pelaksana lapangan, khususnya pembangunan.
Evaluasi dan instruksi pekerjaan sering saya lakukan setelah bertemu dengan masing-masing kepala tukang pada sore hari seusai jam kerja. Apalagi, kemarin saya disuruh Pak Sarwan menyelesaikan gambar sekaligus perhitungan anggarannya, dan subuh tadi baru selesai.
Saya sudah menduga bahwa saya pasti terlambat tiba di lokasi proyek. Terlambat bangun, bahkan hingga tengah hari. Pak Sarwan tidak bisa memarahi saya, karena tanggung jawab saya juga berkaitan dengan perancangan dan perhitungan.
***
"Tadi pagi, kata Pak Semprul, saya akan dikeluarkan dari proyek ini oleh Pak Demun."
"Lho, kok begitu? Kok bisa segampang itu Pak Semprul ngomong sama Pak Odang, walaupun dari Pak Demun?"
"Gara-gara kemarin, Mas Oji. Saya, sih, terserah saja. Yang penting bukan dari Pak Sarwan."
Kemarin, saya ingat, Pak Odang disuruh Pak Semprul mengukur lahan milik seorang warga yang bersebelahan langsung dengan lahan proyek. Akan tetapi, Pak Odang tidak mau melakukannya, karena tidak ada perintah dari Pak Sarwan.
"Bos kita, 'kan, Pak Sarwan, bukannya Pak Demun? Lagian, lahan yang akan diukur itu tidak termasuk dalam kontrak kerja kita."
"Iya, Pak, sudah benar," kata saya. Â