Mungkin aku masih percaya pada kekuatan telinga dan mata daripada mendayagunakan ketangguhan jiwa dalam upaya menyiasati segala sengketa antarsituasi sehari-hari. Mungkin kamu bingung mengenai apa yang hendak kusampaikan ini.
Baru kini atau belum satu bulan ini, secara lugas dan langsung aku berani melawan kesewenang-wenangan seorang majikan. Terhadap kesewenang-wenangannya itu aku menyatakan bahwa dia justru jauh lebih keji daripada penjajah asing dengan program tanam paksa dan kerja paksa.
"Anda telah melintasi negara-negara maju, tetapi Anda justru memeras keringat dan darah sesama manusia, bahkan sesama bangsa-negara. Oh, alangkah tega!"
Aku benar-benar marah semarah-marahnya. Aku tidak peduli lagi pada nilai kepatutan antara anak buah dan majikan, karena kepatutan yang berstrata itu tidaklah lebih mulia daripada perlakuan sewenang-wenangnya. Â Â
Ya, menurutku, dia sudah keterlaluan memperlakukan aku. Tidak ada hak dan kewajiban yang diterikat oleh aspek formalitas-legalitas, tetapi aku telah memberinya sebagian hasil kerja yang melampaui apa yang pernah diharapkan atau dibayangkannya.
Sebelum satu bulan ini, aku melakoni sebuah peran paling mengenaskan dari sekian episode kehidupan sebelumnya. Kesemua episode itu berangkat dari kemiskinan yang menyusup dalam sumsumku setelah aku berada di luar lingkaran kenyamanan yang dijaminkan oleh sebuah ikatan formal-legal.
Anggap saja sebuah aktualisasi atas pepatah "Sudah jatuh, tertimpa tangga pula". Sudah miskin, masih juga diperas. Apakah itu tidak keterlaluan?
***
Kemiskinan merupakan sebuah bentuk penjajahan yang tidak jelas alias abstrak, meskipun jelas dalam bentuk material. Barangkali aku keliru. Ah, biarlah keliru. Toh kekeliruan merupakan hal yang lumrah, 'kan? Â
Kemiskinan selalu meneteskan keharuan perihal manusia memangsa sesamanya atas nama apa saja. Kemiskinan terlalu lama memperbudak dengan aneka ketakutan dan kecemasan. Kemiskinan hanya menghidupkan hantu-hantu hingga bergentayangan pada setiap perenungan. Bahkan, kemiskinan berhasil melumpuhkan sendi-sendi optimistis.
Kuakui, kemiskinan telah berpengaruh mutlak dalam setiap kegagalanku. Aku mengalami sebuah ketakutan yang akut. Aku gemetar menjelang fajar. Aku menggigil menjelang senja. Kegelapan apa lagikah yang sedang bersiap untuk meringkusku?