Mohon tunggu...
Gus Noy
Gus Noy Mohon Tunggu... Administrasi - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009, asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Ada Aku yang Lain

16 Agustus 2019   01:00 Diperbarui: 16 Agustus 2019   01:26 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Beberapa kali telepon dari Ibu selalu hadir pada saat aku sedang mengalami suatu penderitaan atau akan mengalami suatu kesusahan. Dan, sampai usiaku yang tidak muda lagi ini, naluri Ibu yang sangat sepuh masih saja berfungsi dengan optimal terhadapku.

***

Mungkin aku masih belum beranjak dari belitan duniaku yang lain. Mungkin aku terlalu jauh meninggalkan diriku yang hakiki. Mungkin kamu semakin kebingungan dengan apa yang sesungguhnya hendak kusampaikan ini.

Apa pun itu, kini aku "merasa" memiliki sebuah kekuatan dari Ibu untuk menghadapi praktik-praktik manipulatif dalam hubungan anak buah-majikan alias antarsesama manusia yang kualami sendiri. Dengan "merasa", tentu saja, sangat situasional, dan perlu adanya sikap pembenahan yang signifikan hingga "merasa" itu lenyap, dan hakikat "memiliki" merupakan kenyataan yang konkret.

Akan tetapi, untuk sementara ini cukuplah pada tahap "merasa". Aku harus mengupayakannya seoptimal mungkin agar menjadi sesuatu yang konkret. Berani melawan juga merupakan sesuatu yang konkret, 'kan?

Begitulah aku melawan kesewenang-wenangan seorang majikan. Janganlah dia "mentang-mentang" tetapi malah memungkiri seutas hakikat yang mengikat antara manusia dan kemanusiaan. Janganlah ketika aku mengakui kemiskinanku lantas dia boleh seenaknya menjadi penjajah baru dalam keseharianku.

Aku pun teringat pada pesan Soekarno, "Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah. Tapi perjuangan kalian lebih berat, akrena melawan saudara sendiri."

Memang, keberanianku melabrak sikapnya itu cenderung mengungkapkan perihal sisi lain diriku, yakni sisi pemberontak yang mendadak muncul dari kegelapan. Tanpa tedeng-aling, aku pun mengatakan bahwa sikapnya sebagai orang kaya tetapi pelit selangit sangatlah memalukan.

Setelah mencecar dia dengan kalimat panjang-lebar-tinggi yang mencabik-cabik perasaan paling halus dari segi kemanusiaan, aku berhenti dengan kelegaan yang luar biasa. Aku sedang mengalami suasana perasaan yang melambung-lambung ketika itu.

Sebentar kemudian aku membumi. Kupikir, tidaklah mustahil bahwa perihal ini pun bisa menjadi sebuah serangan balik dalam bentuk lain terhadap diriku sendiri. Jangan-jangan ada aku yang lain sedang "bermain api" setelah kukeluarkan dari sisi gelap jiwaku.

Aku berdebar-debar. Aku harus waspada.

*******
Kupang, 15 Agustus 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun