Mohon tunggu...
Gus Noy
Gus Noy Mohon Tunggu... Administrasi - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009, asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Sebuah Prosesi Pagi dengan Laron

5 Desember 2018   01:27 Diperbarui: 5 Desember 2018   02:19 469
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi itu saya mengeluarkan simpanan laron dari kulkas. Saatnya mereka akan saya jadikan lauk.

Dua malam mereka berada di situ setelah dua malam lalu garasi yang menjadi ruang kerja sekaligus ruang tidur saya didatangi beberapa laron karena pintu sebelah kirinya menganga. Satu-dua laron langsung memburu lampu di dinding depan sebelah samping kanan saya.

Saya biarkan saja. Saya kira, hanya beberapa laron seperti malam-malam sebelumnya ketika hujan telah reda. Percuma kalau saya kumpulkan untuk menjadikan mereka sebagai lauk. Sedikit, apalah aduhainya, 'kan?

Saya tetap tekun memelototi layar komputer jinjing. Senyampang sepi karena orang-orang sedang sibuk beracara "Global Migration Film Festival" di Aula Museum NTT, Jalan Frans Seda, Kupang. Saya memang sedang ingin berada di rumah singgah saja, meskipun hal ini sangat tidak biasa kalau dibandingkan dengan tahun lalu dengan acara Festival Hujan "Tpoi Ton" di tempat yang sama.

Udara di luar agak dingin. Rumah singgah benar-benar sepi. Dari beberapa laron yang masuk ke garasi, disusul oleh laron-laron lainnya. Lampu yang tergantung di dinding pun dikerubungi laron. Sebagian hinggap di kepala dan badan saya.

Saya terusik, bahkan terganggu oleh hinggapan laron-laron itu. Saya segera bangkit untuk menutup pintu garasi. Akan tetapi saya terkejut ketika menoleh ke arah teras.

Di teras rumah banyak sekali laron! Di situ juga seekor kucing liar sedang menikmati serangga berprotein tinggi itu. Saya pun tergugah untuk ambil bagian seperti tahun lalu.

***

Begitulah ceritanya sampai suatu pagi saya mengeluarkan simpanan gizi dari kulkas di dapur. Di ruang terbuka antara ruang tengah-dapur seorang kawan sedang duduk. Secangkir kopi hitam dan sepiring jajanan pasar pun menemaninya dalam suasana pagi yang aduhai itu.

Semula saya hendak menjemur laron-laron yang sebagian sudah mati-lemas sebab kondisi mereka cukup basah. Matahari pagi sedang mendukung kehendak saya.

Dengan menjemur hingga benar-benar kering, saya pikir, bisa lebih mudah untuk memisahkan sayap-sayap mereka. Baru nanti saya bikinkan menu sarapan dengan sisa tepung dari cemena (cemedak tapi nangka) goreng kemarin. Tidak mungkin saya menikmati laron berikut sayap-sayapnya, 'kan?

Belum sepuluh menit saya menyiapkan tempat menjemur, beberapa lalat menyerbu laron-laron. Ukuran lalat-lalat itu tidaklah besar. Justru karena tidak besar, gerakan mereka begitu leluasa dan benar-benar sulit diterka.

Wah, ini, lalat-lalat pengecut, menyerang lawan dalam kondisi sekarat, padahal aku hendak menolong agar segera sampai ke tempat tujuan.

Baiklah, laron-laron basah tidak perlu saya jemur, melainkan langsung saja saya bereskan, ditambah oleh situasi yang mendadak krusial itu. Saya harus mencari tempat yang lebih aman.

Saya berpikir sejenak. Tidaklah mungkin saya berpindah ke ruang di dalam. Serpihan-serpihan sayap laron bisa menyampahi ruangan apalagi kalau ditiup angin. Ujung-ujungnya saya sendiri yang akan repot dengan menyapu sana-sini.

Sementara kawan saya menahan tawa ketika melihat saya kerepotan menghalau serbuan lalat. Sesekali ia menyeruput kopi dengan mulut masih berisi segigit jajanan pasar. Sepiring jajanan pasar yang dibelikannya tadi tergeletak di atas meja depannya. Di situ pun secangkir kopi hitam saya masih utuh.

Di meja itu pun teronggok 3 buku karya tunggal saya yang terbaru. Ketiganya saya kerjakan sendiri seperti  belasan buku saya sebelumnya. Menulis dengan tekun, menyusun kembali, menata, memeriksa aksara, membuat ilustrasi, dan seterusnya hingga naik cetak di sebuah percetakan. 

Semua buku saya memang saya kerjakan sendiri karena saya selalu serius memperlakukan karya-karya saya sendiri. Hal tersebut sudah saya obrolkan dengannya tadi. Saya sangat menikmati prosesi pembuatan buku-buku saya, dan saya ceritakan pula pada kawan saya. Sejujurnya pula saya sampaikan bahwa situasi pengerjaannya tidaklah selalu kondusif alias ada saja yang "mengganggu", meskipun saya anggap sebagai cobaan dan tantangan bagi keseriusan saya sendiri. 

Sarapan tinggal sarapan di meja, hidup sudah praktis, warung-warung sudah buka, dekat Siloam masih ada yang jual kue-kue, kok malah menyusahkan diri sindiri, sih?

Saya tidak menghiraukan komentarnya. Yang penting, tadi malam ia tidak tahu, saya sudah repot terlebih dulu karena ia sudah tidur lantaran kelelahan sepulang dari menempuh pendidikan pascasarjana di Bandung. Laron-laron menyerbu lampu teras, saya kebingungan mencari ember. Ternyata ember berada di tempat yang tidak biasa alias di antara batang-batang pisang.

***

Di atas penutup bak penampung air berukuran 2 m x 3,5 m saya melucuti sayap laron-laron dengan kuku jempol. Harus sabar dan hati-hati karena sebagian pangkal sayap masih lekat di punggung. Kalau terburu-buru atau kurang sabar, pangkal sayap yang terlucuti bisa disertai kulit punggungnya.

Matahari mulai meninggikan sudut dan panasnya. Bayangan pohon damar dan tembok pagar samping tidak lagi bersudut panjang. Suhu permukaan penutup bak air mulai hangat.

Saya pikir, pakaian di jemuran bisa kering hari ini setelah kemarin digagalkan mendung dan hujan. Hari ini saya memakai pakaian satu-satunya. Sekarang pun keringat mulai membasahi punggung dan muka saya. Semoga bisa lekas kering agar saya bisa berganti pakaian hari ini.

Sementara gangguan lalat belum berhenti. Sangat menjijikan bagi saya. Berkali-kali saya berusaha menghalau serbuan atau penyusupan mereka ketika saya lengah.

Saya mulai sering lengah karena, selain lalat, serangga lainnya pun bermunculan. Agas, nyamuk, dan semut. Semut pun terdiri dari semut merah (semut api) dan semut hitam. Saya harus melawan serangga-serangga itu, selain sabar melucuti sayap laron-laron.

Dalam keasyikan  itu saya pun teringat pada masa kecil saya ketika pertama kali mengalami masa perburuan laron atau dinamakan "kelatu" di kampung halaman, Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka (Babel). Orang tua saya yang berasal dari Jawa mengajari saya mengenai cara berburu laron yang sedang menyerbu lampu. Setelah itu saya pun belajar, bagaimana melakukan prosesi pelucutan sayap laron-laron.

Pertama kali makan laron goreng, pengalaman itu saya ceritakan ke kawan-kawan sebaya.  Kawan-kawan langsung mencibir. Kelatu itu haram, kata kawan-kawan saya. Saya tidak peduli, mau haram atau halal, karena toh orang tua saya sendirilah yang mengajari saya menikmati sedapnya laron.

Pengalaman berburu, mengeksekusi, dan menyantap laron masih kental dalam genangan kenangan saya. Memang dibutuhkan kesabaran dan kehati-hatian, meski sebenarnya hanya laron. Sangat sepele, sebenarnya. Tidak seperti memproses ayam yang baru dipotong, dimana saya sering disuruh oleh orang tua saya untuk tidak banyak omong karena bulu-bulu halus ayam bisa tumbuh jika saya ngomong melulu.

Kalau sendiri melucuti sayap laron begini, saya tidak bicara dengan siapa-siapa. Mungkin dengan diam begini sayap-sayap halusnya tidak tumbuh lagi seperti bulu-bulu halus ayam. Mungkin saya yang konyol, berpikir laron sama dengan ayam.

Kopimu sudah dingin dan dihinggapi lalat. Sudah dua jam kamu biarkan sejak selesai kamu seduh. Sibuk banget, ya?

Saya dengar suara bass kawan saya. Lebih jelas daripada sebelumnya. Mungkin ia sedang melangkah ke arah saya tetapi tidak saya hiraukan. Pagi beranjak siang itu, bagi saya, lebih penting untuk disiasati dengan merampungkan pelucutan sayap laron-laron daripada menyeruput kopi, menikmati jajanan pasar, dan ngobrol dengannya. Gangguan semut malah sudah sampai menggigit kaki saya.

Begitu berjarak semakin dekat dengan saya, ia pun menanyakan, apa sebenarnya yang sedang saya kerjakan sehingga lama dan asyik sendiri di situ.

Saya sedang membuat buku ketujuh belas. Begitulah jawaban saya. Seketika ia berbalik ke tempat duduk semula.

*******

 Kupang, 4 Desember 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun