Oji dan Sarwan melewati pintu keluar dari balai kampung. Bapak dan anak ini lega setelah terdaftar sebagai peserta calon pemilih ketua adat kampung nelayan, meski tadi malam tidak melaut.
Matahari membedaki badan perahu-perahu yang bergoyang-goyang di bawah jalan papan kampung nelayan. Angin laut masih berusaha untuk menyesuaikan diri dalam pergantian waktu yang akan berangsur menggusur angin darat. Di pinggir jalan papan beberapa anak kecil belajar memancing dengan senar saja.
Pagi itu orang-orang di kampung mereka tidak diperbolehkan melaut, sama seperti Oji. Pendaftaran berlaku satu kali dalam satu hari. Selanjutnya, nanti, tinggal hari pemilihan.
Di bangku panjang samping pintu beberapa orang sudah antre. Sementara tidak jauh dari situ, sebuah kursi kayu bekas peti kemas sedang diduduki seorang pria berbaju kemeja lengan panjang yang didominasi coklat muda dengan motif tanaman menjalar coklat tua, hitam, dan putih. Penampilan pria itu paling rapi di antara orang-orang.
Sudah dua kali Oji melihat pria yang sebagian rambutnya sudah memutih itu. Pertama, sekian tahun silam, ketika ada pendaftaran peserta pemilih ketua adat yang baru. Dan, kedua, ya, sekarang. Pria itu selalu berpakaian rapi. Tetapi Oji dan Sarwan melewatinya begitu saja.
***
Di jalan papan atas tepian air laut itu beberapa orang masih berlalu-lalang. Pergi ke balai kampung, atau pulang. Oji dan Sarwan selalu memberi salam atau sekadar basa-basi apabila berpapasan dengan mereka.
"Siapa orang asing di balai tadi, Pak?" tanya Sarwan setelah berada di jalan papan yang berada agak jauh dari balai kampung.
"Yang mana?"
"Berambut uban, berpakaian paling rapi..."
"O, itu Demun."
Ya, namanya Demun, sebagaimana sebagian orang di kampungnya pernah menyebut namanya. Oji sama sekali belum pernah bertegur sapa dengan Demun, meskipun sempat berdekatan bahkan bertatapan di balai kampung. Sedangkan Sarwan baru pertama bisa ikut pemilihan sehingga baru kali itu juga melihat pria paruh baya itu di kampung mereka.
Oji juga menerangkan berdasarkan penuturan ketua dusun yang kemudian disebutkan oleh beberapa orang kampung nelayan, Demun berasal dari luar kampung. Demun selalu muncul di setiap tempat yang sedang menyiapkan acara pemilihan ketua adat.
Selama puluhan tahun menjadi nelayan, Oji tidak pernah melihat pria paruh baya itu berada di sekitar laut, walaupun sekadar berenang-berendam. Sarwan pun tidak pernah melihatnya, semisal mencari kerang di balik pasir basah sekitar kampung mereka. Orang-orang kampung nelayan pun tidak pernah berkisah tentang Demun melaut sebagai nelayan.
"Sudah, Wan, tidak perlu dipikirkan. Demun tidak penting untuk dipikirkan. Anggap saja jin anjang-anjang."
"Demun itu Jin Anjang-anjang? Ah, Bapak bisa saja bikin julukan."
Oji tidak menyahut karena perjalanan sudah mendekati halaman papan mereka. Rencana Oji, kesempatan tidak melaut dapat dipergunakan untuk memperbaiki bagian rumah yang sudah rusak karena beberapa bagian mengalami lapuk cukup parah. Sementara Sarwan ingin tidur sampai menjelang sore. Nanti malam keduanya akan melaut lagi.
***
"Pak, bangun, Pak," gugah Sarwan dengan cara menyentuh jari kaki Oji.
"Mmmm..."
"Gantian saya yang tidur."
"Oh..."
Oji segera bergerak untuk menggantikan Sarwan mendayung di buritan perahu. Giliran Sarwan merebahkan di lekukan perahu. Sekian waktu cukup bagi Sarwan untuk melepaskan lelah sebelum tiba di bibir pantai.
Hari itu hasil melaut cukup banyak. Apa yang didapat hari ini cukuplah untuk hari ini. Oji dan Sarwan tidak perlu bersusah-payah seakan ikan sudah langka.
Matahari masih bermalas-malasan di kaki langit. Sinar keemasannya sudah menyemburat bersama biru yang mulai menyingkap cakrawala.
Ketika bergerak ke buritan, Oji melihat seekor ikan raksasa di kaki langit dalam bentuk samar. Ekornya melambai-lambai lalu hilang, melambai lagi, dan menghilang lagi. Sementara kepala ikan itu juga timbul-tenggelam tetapi mengarah ke pantai.
Bagi Oji dan para nelayan di daerahnya, ikan raksasa bukanlah ikan asing atau ikan bermasalah. Tidak seorang nelayan pun yang tidak mengenal ikan raksasa itu.
Para tetua adat tidak pernah juga mengatakan bahwa ikan raksasa itu sebagai musuh, melainkan penguasa laut yang biasa-biasa saja. Malah, dengan adanya ikan raksasa itu, nelayan tidak perlu mengarahkan perahu ke sana karena ikan-ikan buruan nelayan tidak berada di sana. Tentu berbeda dengan elang yang bisa menjadi hama bagi ayam mereka.
***
Permukaan laut bergerak-gerak seperti ada gelombang. Padahal, sama sekali tidak terasa adanya angin agak kencang. Perahu Oji bergoyang-goyang dan benturan gelombang-badan luar perahu menciprati Sarwan sehingga membangunkan Sarwan.
"Ada badai, ya, Pak?"
"Bukan. Ikan raksasa sedang menuju ke darat," jawab Oji sembari mengarahkan pandangan ke ikan raksasa yang bergerak menuju daratan.
"Ikan raksasa menuju ke darat?" Sarwan penasaran lalu menekuk badan untuk melihat ikan raksasa yang hendak menuju ke darat itu sambil berpegangan pada pinggir perahu.
Sementara Oji sudah berpegang pada kedua sisi perahu dari batang besar. Dayung tergeletak di depannya. Pandangannya tidak lepas pada ikan raksasa yang sedang bergerak seakan beradu cepat dengan perahunya menuju bibir pantai.
Matahari sudah tidak malas di batas cakrawala. Biru angkasa semakin lapang. Sedikit awan putih seperti sobekan kapas tergantung di sana.
Ikan raksasa memang lebih cepat daripada perahu Oji. Oji mendayung lagi setelah permukaan laut agak reda dan posisi ikan raksasa semakin jauh dari perahunya. Sarwan pun sibuk mengeluarkan air laut yang sempat masuk ke perahu.
***
Tanpa sampai merapat ke pantai, ikan raksasa itu berputar-putar saja di perairan agak dangkal. Kelihatannya tidak akan ke mana-mana. Kelihatannya sedang terjadi sesuatu di sana.
Oji dan Sarwan pun berusaha mendekati tempat itu dengan tetap menjaga jarak. Keduanya sangat ingin mengetahui kejadian yang baru pertama mereka saksikan ini.
"Ada apa, ya?"
"Kita lihat saja. Mungkin ada banyak makanan di sekitar tempat itu...."
Sahutan Oji terhenti ketika sebagian pandangannya menemukan secara sekilas dari bayang-bayang pada permukaan air. Beberapa ikan berukuran sedang juga melaju ke sana. Ikan-ikan itu tidak pernah ditangkap nelayan karena tidak laku dijual, bahkan sebagian beracun.
Tak pelak Sarwan menangkap sesuatu dari arah pandangan bapaknya yang mendadak sekaligus tidak meneruskan sahutan. Sisa kantuknya mendadak lenyap tanpa bekas.
Sarwan segera bangkit untuk melihat situasi di bawahnya. Bayangan ikan-ikan melaju itu. Pertanyaan "ada apa" tadi seketika terulang, meski hanya dalam benaknya sendiri.
"Kita putar ke kanan. Kita melihat dari samping saja sambil menuju darat."
"Beres, Pak." Sarwan segera mengambil dayung cadangan untuk membantu Oji mengubah arah perahu.
Dari arah menyamping Oji melihat pemandangan lainnya. Sebuah perahu kayu dari daratan menuju posisi ikan raksasa. Di atas perahu itu tampak dua orang.
Apa yang akan mereka lakukan terhadap ikan itu, pikir Oji. Jangan-jangan...
Terbayanglah suatu benda berujung mirip anak panah yang bisa membahayakan keselamatan ikan raksasa itu.
***
Oji terus mendayung dan mengarahkan perahu ke arah samping ikan besar dan perahu yang mendekati itu. Dalam benaknya berkecamuk kekhawatiran terhadap raja laut yang tidak pernah mencelakai para nelayan.
Ia benar-benar ingin memastikan bahwa perahu dan orang di perahu tidak membawa senjata berbahaya. Ya, tidak ada hal paling dipikirkannya selain nasib ikan raksasa itu. Sementara Sarwan semakin sibuk mengeluarkan air dari perut perahu.
Pada jarak yang dianggap Oji sejajar antara perahunya dan ikan raksasa terhadap bibir pantai, barulah dayung berhenti. Dadanya berdebar-debar.
Bayangan mengerikan bermain-main dalam pikirannya. Senjata berbahaya. Ikan tertancap dan berdarah-darah. Air laut memerah. Anyir akan memenuhi udara kampung nelayan. Entah akan terjadi bencana apa jika ikan raksasa itu terbunuh.
Plak! Oji menepuk jidat dengan suara yang mengagetkan Sarwan. Sarwan menghentikan kegiatan membuang air dengan tempurung kelapa sambil menatap bapaknya, lalu menoleh ke arah ikan raksasa dan perahu yang mendekati ikan itu.
"Coba kamu berdiri, Wan. Tengok situasi di sana."
Tidak menunggu perintah dua kali, Sarwan langsung berdiri untuk melihat dengan lebih jelas. Terkadang Sarwan sedikit menekuk badan dengan telapak tangan yang memayungi mata dari bauran sinar matahari. Oji menghentikan dayungan untuk menunggu hasil penglihatan Sarwan.
"Bagaimana situasinya?"
"Ada seseorang sedang memainkan sebatang kayu yang dicelupkan ke air laut. Seorang lagi sedang menaburkan sesuatu ke laut. Ke sisi kanan dan sisi kiri perahu."
"Bunga?"
"Sepertinya bukan..."
Oji tidak melanjutkan pertanyaan. Ia membiarkan Sarwan mengamati situasi secara cermat meski daya jangkau pandangan yang terbatas. Sekilas terbayang racun-racun sedang ditaburkan. Ia segera mengenyahkan pikiran itu.
"Mungkin, makanan, Pak."
"Memberi makanan untuk ikan raksasa dan kawanan lainnya?"
"Iya, Pak. Sepertinya begitu. Soalnya, kelihatan di permukaan air laut..."
"Terus..."
"Orang yang memberi makan itu... Laki-laki... Agak beruban... Berpakaian kemeja... Lengan panjang... Rapi..."
"Oh, Jin Anjang-anjang itu!"
Dari arah kanan-kiri panorama laut nun jauh beberapa ikan raksasa lainnya pun berdatangan. Perahu-perahu nelayan lainnya pun mulai kelihatan.
Sementara di daratan orang-orang kampung nelayan sudah berdiri untuk menyaksikan kejadian aneh itu.
*******
Panggung Renung -- Balikpapan, 2018
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI