Saya pun bangkit lalu beranjak ke dalam. Saya biarkan saja Demun menikmati beranda ditemani aneka bunga dan tanaman lainnya.
"Eh, ada Mas Demun...." Saya dengar suara istri saya. Â "Tumben jam segini sudah datang. Lho, mana Bang Oji? Tamu kok dibiarkan sendiri begini, sih?"
"Halo, sudah beres urusan emak-emaknya nih? Lagi pengen ngobrol ama suamimu. Biasalah... Sambil ngopi. Oji lagi di dalam, bikin kopi."
"Saya tinggal dulu, Mas."
Tidak berapa lama istri saya pun sampai di dapur. Saya masih menunggu air mendidih. Tidak akan lama karena air dalam ceret cuma untuk dua cangkir.
"Tumben Mas Demun sudah muncul jam segini, Bang?" tanya istri saya dengan agak berbisik.
"Dia lagi menjaring massa, kayaknya. Dia, 'kan, mau jadi tim sukses? Hehehe... Ya, pilihan politiknya begitu."
"Bukan urusan lainnya?"
"Lho, ada apa?"
"Tadi, waktu acara emak-emak, ada seorang ibu yang ngasih kabar. Bulan depan Demun mau melamar anaknya Bu Zaenab. Itu, si Yuli, yang baru kuliah," sahut istri saya sambil membuat lengkungan di perutnya. "Sekarang Demun sedang dalam proses perceraian dengan istrinya. Tapi Abang diam saja, pura-pura nggak tahu."
Saya terkejut, tentunya. Saya sama sekali tidak menyangka. Padahal, dulu, Demun yang menasihati saya ketika saya hendak menikah, bahwa pernikahan itu berat. Oh, ternyata.