Mohon tunggu...
Gus Noy
Gus Noy Mohon Tunggu... Administrasi - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009, asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Target Menulis

23 Februari 2018   22:08 Diperbarui: 24 Februari 2018   13:44 600
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: getty image

Sebagian penulis atau pehobi menulis membuat target tertentu sekaligus slogannya. "Satu hari satu tulisan" (one day one article, istilah asingnya), "satu minggu satu artikel utama", "satu minggu satu juara menulis", dan seterusnya.

Di satu sisi, sebuah target membuat mereka fokus menulis, sebagaimana suatu target memang merupakan sebuah fokus. Misalnya, target berposisi tertentu, entah juara I atau, minimal, nominasi. Dengan adanya suatu target, mereka berusaha mengelola waktu, tenaga, suasana, dan lain-lain agar hasilnya benar-benar sesuai dengan target.

Di sisi sebaliknya, malah bisa gagal fokus. Pada masa persiapan sampai suntuk menulis, tidak jarang suatu target mengalami perubahan bentuk (metamorfosis). Target menjadi beban psikis. Target menjadi bagian stres, mudah uring-uringan, dan seterusnya. Fatalnya, tulisan tidak selesai, dan ditambah bermasalah dengan orang di sekitarnya.

Seorang Pemanah

Ibarat seorang pemanah sedang menghadap sebuah bidikan--biasanya ada semacam papan lunak dengan lingkaran merah memusat. Ketika menarik tali busur beserta anak panah, tenaga, keseimbangan, konsentrasi dikolaborasi sedemikian agar anak panah bisa mencapai target yang akurat, bahkan sebelumnya sangat berambisi untuk menjadi juara pada suatu lomba memanah.

Alangkah lucunya apabila kemudian target seorang pemanah berubah menjadi beban, bukan? Padahal bebannya, ya, busur dan bagaimana memainkannya. Ini malah target mendadak menjadi beban, atau seolah-olah papan bergambar lingkaran melompat ke pundaknya. Luar biasa, 'kan?

Apa sebabnya? Khawatir. Khawatir kalau gagal mencapai target. Kalaupun mencapai target, ia khawatir kalau hasilnya meleset dari target, semisal tidak benar-benar mengena bagian tengah.

Apakah sekadar khawatir jika meleset dari target? Barangkali sebuah target telah dimanipulasi oleh perasaannya sendiri sehingga seakan-akan sebuah target menjadi beban. Kekhawatiran sebenarnya bukanlah pada target, melainkan hal-hal di luar persoalan memanah, membidik, dan sekitar itu.

Beban yang sering kali terjadi adalah seputar harga diri, gengsi, dan sejenisnya. Apa kata orang nanti kalau nanti gagal mencapai target. Apa kata orang nanti kalau benar-benar melenceng di luar bidikan alias melayang menembus udara saja. Aduhai, terasa kiamat datang terlalu cepat!

Kalaupun kemudian benar-benar melenceng jauh, ia harus "memanipulasi" dengan manuver-manuver apologis yang masuk akal. Kurang berlatih. Kurang fokus. Sedang ada masalah, tidak enak badan,  atau gangguan ini-itu, yang seakan-akan bisa menjadi tameng jika nanti dirinya justru menjadi target "anak panah" (omongan) orang di sekitarnya.

Pehobi Menulis di antara Target dan Kesenangan

Begitu juga yang bisa terjadi pada sebagian pehobi menulis yang kurang menyadari bahwa antara harga diri (gengsi), ambisi, dan target penulisan mengaduk-aduk konsentrasinya sehingga keseluruhannya menyatu sebagai suatu beban. Sungguh malang kesehariannya jika target berubah menjadi beban, atau istilahnya, "beban palsu".

Beban ini bisa sangat mungkin terjadi pada kalangan berpendidikan tinggi sekali. Apa kata orang nanti jika tulisan dinilai tidak bermutu; atau kalaupun bermutu tapi mutunya minus. Masak, sih, gelarnya sudah di atas rata-rata tetapi hanya menulis hal sepele, misalnya cara menggunakan tusuk gigi setelah makan, menggunakan tisu toilet di kamar mandi, mengajarkan anak laki-laki naik sepeda mini, dan lain-lain. Bisa "mati gaya" deh, pokoknya! Paling tidak, targetnya, tulisan mengubah orang lain, tulisan mengguncang dunia, dan hal-hal muluk-meliuk lainnya. Aduhai!

"Beban palsu" pun bisa berupa persaingan tidak jelas dengan orang lain, terlebih orang yang tidak disukai. Persoalannya, sebenarnya, pada "tidak suka" itu, lalu persaingan tidak jelas semakin "membebani"-nya. Padahal, sama sekali bukanlah sebuah kompetisi tulis-menulis. Kalaupun sebuah kompetisi, persaingan itu hal yang biasa. Mana ada, sih, lomba tulis-menulis tanpa ada peserta selain dirinya?

Seorang yang benar-benar mengikrarkan dirinya sebagai pehobi menulis, tentu saja, akan menulis dengan kesenangan. Kesenangan menyampaikan pemikirannya, baik terhadap suatu situasi aktual maupun sekadar berbagi mengenai kegiatannya.

Targetnya hanyalah menyalurkan hobi menulis, dan syukur-syukur bisa menyelesaikan sebuah tulisan. Setelah itu menulis lagi hal lainnya. Tidak perlu merasa direcoki waktu ataupun suasana di sekelilingnya. Kalau sedang repot dengan urusan lainnya, misalnya mengantarkan anggota keluarga ke mana, tidaklah kemudian semua itu "terpaksa" dimanipulasinya sebagai beban menulis.

Seorang pehobi menulis juga tidaklah perlu repot memikirkan "apa kata orang", khususnya "kata negatif", terhadap tulisannya. Selain memang sudah memahami apa yang perlu disampaikan atau diaktualisasikan sesuai dengan asas manfaat bagi sebagian pembaca atau kebaikan bersama (sosial), persoalan nanti "apa kata orang" pun harus dipahaminya, dan harus selalu siap-sedia menerima "apa kata orang" sebagai konsekuensi logis dan jamak.

Dan, seorang pehobi menulis, sepakat-tidak sepakat, selalu "membidik" dirinya sendiri. Apakah benar-benar hobi menulis. Apakah benar-benar menulis dengan kesenangan. Apakah benar-benar menikmati hobi menulisnya. Target sampai "apa kata orang" merupakan hal-hal di luar dirinya.

Seseorang yang hobi menulis belumlah tentu mau disebut penulis. Hal ini karena penulis sudah tergolong sebagai profesi, misalnya jurnalis, sekretaris, bahkan penulis yang membiayai kebutuhan hidup dari tulis-menulis. Seorang penulis bisa dan biasa menjadikan tulisan memiliki target tertentu, khususnya bernilai ekonomi, karena tulisan menjadi "anak panah" untuk menghasilkan uang (profit).

Penulis sebagai profesi, ya, seperti halnya seorang nelayan. Mencari ikan, semisal mancing, bukanlah hobi, melainkan memang itulah pekerjaannya. Terkecuali hal-hal darurat, setiap hari ia harus mendapat ikan. Kalau tidak, aduhai!

Sementara seorang pehobi menulis tidaklah menggantungkan kebutuhan hidupnya dari tulis-menulis karena ia memiliki profesi (pekerjaan) tersendiri yang memang mampu menghidupinya. Kesadarannya terhadap tulis-menulis hanyalah sebatas hobi (kesukaan; kegemaran). Menulis tanpa "beban palsu" bernama target.  Tidak jarang, di luar kesadarannya, tulisannya justru menginspirasi orang lain (segelintir pembaca) karena memang tidak pernah ditargetkannya untuk mengubah orang lain, apalagi dunia.

*******

 Panggung Renung -- Balikpapan, 23 Februari 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun