Begitu juga yang bisa terjadi pada sebagian pehobi menulis yang kurang menyadari bahwa antara harga diri (gengsi), ambisi, dan target penulisan mengaduk-aduk konsentrasinya sehingga keseluruhannya menyatu sebagai suatu beban. Sungguh malang kesehariannya jika target berubah menjadi beban, atau istilahnya, "beban palsu".
Beban ini bisa sangat mungkin terjadi pada kalangan berpendidikan tinggi sekali. Apa kata orang nanti jika tulisan dinilai tidak bermutu; atau kalaupun bermutu tapi mutunya minus. Masak, sih, gelarnya sudah di atas rata-rata tetapi hanya menulis hal sepele, misalnya cara menggunakan tusuk gigi setelah makan, menggunakan tisu toilet di kamar mandi, mengajarkan anak laki-laki naik sepeda mini, dan lain-lain. Bisa "mati gaya" deh, pokoknya! Paling tidak, targetnya, tulisan mengubah orang lain, tulisan mengguncang dunia, dan hal-hal muluk-meliuk lainnya. Aduhai!
"Beban palsu" pun bisa berupa persaingan tidak jelas dengan orang lain, terlebih orang yang tidak disukai. Persoalannya, sebenarnya, pada "tidak suka" itu, lalu persaingan tidak jelas semakin "membebani"-nya. Padahal, sama sekali bukanlah sebuah kompetisi tulis-menulis. Kalaupun sebuah kompetisi, persaingan itu hal yang biasa. Mana ada, sih, lomba tulis-menulis tanpa ada peserta selain dirinya?
Seorang yang benar-benar mengikrarkan dirinya sebagai pehobi menulis, tentu saja, akan menulis dengan kesenangan. Kesenangan menyampaikan pemikirannya, baik terhadap suatu situasi aktual maupun sekadar berbagi mengenai kegiatannya.
Targetnya hanyalah menyalurkan hobi menulis, dan syukur-syukur bisa menyelesaikan sebuah tulisan. Setelah itu menulis lagi hal lainnya. Tidak perlu merasa direcoki waktu ataupun suasana di sekelilingnya. Kalau sedang repot dengan urusan lainnya, misalnya mengantarkan anggota keluarga ke mana, tidaklah kemudian semua itu "terpaksa" dimanipulasinya sebagai beban menulis.
Seorang pehobi menulis juga tidaklah perlu repot memikirkan "apa kata orang", khususnya "kata negatif", terhadap tulisannya. Selain memang sudah memahami apa yang perlu disampaikan atau diaktualisasikan sesuai dengan asas manfaat bagi sebagian pembaca atau kebaikan bersama (sosial), persoalan nanti "apa kata orang" pun harus dipahaminya, dan harus selalu siap-sedia menerima "apa kata orang" sebagai konsekuensi logis dan jamak.
Dan, seorang pehobi menulis, sepakat-tidak sepakat, selalu "membidik" dirinya sendiri. Apakah benar-benar hobi menulis. Apakah benar-benar menulis dengan kesenangan. Apakah benar-benar menikmati hobi menulisnya. Target sampai "apa kata orang" merupakan hal-hal di luar dirinya.
Seseorang yang hobi menulis belumlah tentu mau disebut penulis. Hal ini karena penulis sudah tergolong sebagai profesi, misalnya jurnalis, sekretaris, bahkan penulis yang membiayai kebutuhan hidup dari tulis-menulis. Seorang penulis bisa dan biasa menjadikan tulisan memiliki target tertentu, khususnya bernilai ekonomi, karena tulisan menjadi "anak panah" untuk menghasilkan uang (profit).
Penulis sebagai profesi, ya, seperti halnya seorang nelayan. Mencari ikan, semisal mancing, bukanlah hobi, melainkan memang itulah pekerjaannya. Terkecuali hal-hal darurat, setiap hari ia harus mendapat ikan. Kalau tidak, aduhai!
Sementara seorang pehobi menulis tidaklah menggantungkan kebutuhan hidupnya dari tulis-menulis karena ia memiliki profesi (pekerjaan) tersendiri yang memang mampu menghidupinya. Kesadarannya terhadap tulis-menulis hanyalah sebatas hobi (kesukaan; kegemaran). Menulis tanpa "beban palsu" bernama target. Â Tidak jarang, di luar kesadarannya, tulisannya justru menginspirasi orang lain (segelintir pembaca) karena memang tidak pernah ditargetkannya untuk mengubah orang lain, apalagi dunia.
*******