Pada suatu Sabtu siang belasan orang duduk selingkaran dua meja bundar di ruang pertemuan Institute of Resource Governance and Social Change (IRGSC), Kupang, NTT. Masing-masing membentangkan komputer jinjing atau buku catatan, dan sering berkomunikasi menggunakan bahasa Inggris.
Ya, kelas ini terbentuk dari hasil inisiasi Forum Akademia NTT (FAN). Latar pembentukan adalah banyaknya peluang beasiswa untuk kawasan timur Indonesia tetapi sedikit yang berhasil meraihnya. "Sedikit" itu karena kurang informasi sekaligus pendampingan yang efektif bagi para pelamar.
Oleh karena itu, kelas BBaF merupakan wadah bagi para pencari beasiswa untuk berkumpul. Dan, para pencari itu terkhususkan bagi anak-anak NTT. Dan, kelas BBaF merupakan sebuah kelas non-formal dan bebas biaya (gratis).
Pendiri dan fasilitator kelas ini adalah Olyvianus Dadi Lado atau akrab dengan nama Olkes. Master of International Development, Development Studies dari Universitas Canberra, Australia ini sekarang bekerja di Badan Program Pembangunan PBB atau United Nations Development Programme (UNDP).
Tempat penyelenggaraan kelas ini, dalam pengakuan Olkes, berpindah beberapa kali sejak 2011 hingga 2014. Mulai dari sebuah ruangan di Gedung Resource Bappeda NTT dan lopo (pendapa) sederhana di halaman belakangnya, pindah ke kantor PWI NTT, pernah juga di kantor CIS Timor, pernah di kantor KPAD prov. NTT, dan akhirnya di kantor IRGSC.
Kelas pun, umumnya, memiliki ketua kelas. Di kelas ini para ketua kelas terdiri dari Olkes, Merly Aclin Nuasizta Klaas, Seluz Fahik, Welmince Davis-Djulete, dan Yanto Kapa Djeen. Mereka secara sukarela membagikan waktu, tenaga, bahkan merogoh kantong masing-masing untuk mengurus dan memastikan diadakan sesuai dengan jadwal (setiap Sabtu).
Para mentornya adalah kakak-kakak senior yang telah berhasil mendapatkan beasiswa ke berbagai negara yang menyediakan beragam beasiswa. Kakak-kakak senior ini bisa terdiri dari orang-orang yang sudah menyelesaikan studi, dan orang-orang yang sedang berada dalam masa studi. Â Â Â Â
Tujuan diselenggarakannya kelas ini adalah bertukar informasi, berbagi pengalaman, berdiskusi, memaparkan tips-tips meraih beasiswa dalam-luar negeri. Kemudian dikhususkan lagi, misalnya kegiatan berupa berbagi (sharing) informasi beasiswa, pendampingan selama proses pengisian aplikasi, persiapan wawancara, dan lain-lain.
Berikutnya, mengenai informasi beasiswa. Kelas ini menyebarkan beberapa jaringan (link) informasi. Di antaranya, berdasarkan negara tujuan dengan nama-nama beasiswanya, misalnya Taiwan, Jepang, Jerman, Amerika, Belanda, Australia, Inggris, Perancis, New Zealand, Endeavour, dan lain-lain; memeriksa situs-situs universitas luar negeri yang akan dituju; memeriksa situs studi luar negeri; dan lain-lain.
Yang penting juga diketahui oleh para pemburu beasiswa adalah informasi mengenai kemampuan berbahasa Inggris. Kemampuan ini berkaitan dengan skor TOEFL (Test of English as a Foreign Langugae). Misalnya skor 450 untuk lulusan SMA/D1/D2/D3/S1 untuk dalam negeri, skor 500 di rumpun IPA dan skor 550 di rumpun IPS untuk luar negeri, skor 550 untuk master, Â skor 575 untuk PhD, dan lain-lain. Setiap negara (perguruan tinggi di luar negeri) pun menetapkan kemampuan TOEFL yang berbeda.
"Harapan sederhananya," ungkap Olkes, "adalah satu orang yang pergi sekolah ketika pulang minimal satu keluarga mengalami perubahan hidup. Ini bukan sebuah harapan yang muluk-muluk. Jika kelas ini bisa membantu 100 anak NTT pergi ke sekolah, maka ada potensi 100 keluarga berubah hidupnya. Ini mungkin dampak minimalnya, jika setiap orang yang pulang memiliki kontribusi ke komunitas di luar keluarganya maka akan lebih besar lagi jumlah itu."
Dan dalam suatu obrolan siang Olkes mengatakan, para lulusan kelas BBaF sudah mencapai ratusan orang. Sementara itu, menuju ujung 2017, tidak sedikit para pemburu beasiswa masih saja datang untuk bertanya tentang syarat-syarat ikut kelas, belajar-berdiskusi bersama, dan lain-lain. Tentunya kelas ini pun akan gratis selepas 2017 nanti.
Barangkali suasana geliat para pemburu itu memang sama sekali tidak mampu dideteksi oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Muhadjir Effendy yang kontroversial seperti yang tertera dalam berita Kualitas Pendidikan RI Masuk Ranking Paling Bawah yang disiarkan Jawa Pos, 4/12/2017, "Saya khawatir yang dijadikan sampel Indonesia adalah siswa-siswa dari NTT semua." Andai Muhadjir selalu berada dekat dengan tempat berkumpul para pemburu itu, niscaya tidaklah akan begitu kontroversialnya.
*******
Kelapa Lima, Kupang, 12 Desember 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H