Aku tidak pernah menyangka Cerpen berkunjung setelah Puisi pergi, dan sebuah tulisan fiksi telah kuselesaikan sekian menit lalu. Sama sekali tidak ada tanda-tanda atau pemberitahuan, apalagi janji akan kunjungannya. Seperti kata Pantun, Polisi nilang / centeng nantang / Puisi hilang / Cerpen datang.
"Aku ingin mengajakmu bertamasya," katanya tanpa sapa atau permisi.
"Aku..." Aku melongo.
Bagaimana tidak melongo, kalau tiba-tiba ada yang berkunjung, tanpa sapa atau permisi, langsung mengajak tamasya begitu? Apa mungkin dia mengajak tamasya supaya aku tidak tertular kecewa pada Puisi yang kecewa?
"Sudahlah, kamu mau saja. Nanti nyesel lho kalau menolak. Toh tulisanmu sudah rampung."
"Tapi..."
"Tapi apa?" potongnya. "Tidak usah membawa si tapi."
***
Ajakan yang menjanjikan untuk dijinakkan. Kebetulan satu tulisan rampung. Kebetulan ada kesempatan. Kebetulan aku memang tidak punya rencana kegiatan apa-apa setelah merampungkan tulisan.
Aku menduga, Cerpen pasti tahu itu sehingga dengan tanpa kata pengantar apa-apa tapi langsung mengajak tamasya. Â Aku pun kemudian menyanggupi setelah lebih setengah jam menimbang-nimbang dengan kemungkinan dalam perkiraan belaka.
Tapi syaratnya, mataku harus dalam keadaan tertutup. Padahal aku ingin sekali melihat situasi dalam perjalanan. Yang kutahu dari tamasya itu bukan hanya ketika ketika sampai di tempat tamasya tetapi juga perjalanan merupakan bagian dari tamasya itu sendiri.
"Tamasya sampai di tempat tujuan, bukannya tamasya di perjalanan," kata Cerpen sebelum kami berangkat tadi, dan sambil membuka kain hitam selebar telapak tangan. "Dan pergunakan seluruh inderamu untuk merekam situasi."Â
"Bagaimana bisa merekam tanpa melihat?" Aku menatap Cerpen sambil berharap dia urung menutup mataku.Â
"Gelap pun bagian dari hasil penglihatan." Dia mendekati dengan membentangkan kain hitam yang sejajar dengan tinggi mataku.
"Ini seriuslah."
"Ya, serius. Apa kamu kira selama ini mata tidak pernah berdusta? Iklan saja sudah berkata, rasa memang tidak pernah bohong. Berarti mata bisa bohong."
Aku tidak perlu meneruskan pertanyaan atau perdebatan sepele sampai urusan iklan kecap itu. Cukup kuprioritaskan pada tamasya di suatu tempat yang akan kami tuju dengan sebuah kendaraan.
***
Aku tidak tahu kendaraan apa yang membawa kami karena, ternyata, kedua tanganku pun diikatnya. Aku tidak bisa menyentuh apa-apa. Mungkin mobil seperti kurasakan tempat duduk empuk, suhu dan aroma ruangannya yang khas. Nyaman. Tapi tidak ada suara seperti mobil pada saat mesinnya dihidupkan atau dalam posisi sedang dijalankan.
"Apakah kamu menikmati hari-harimu?" Dia mengusik rasa nyaman yang tengah merengkuh.
"Ya."
Cukup. Aku tidak mau jawaban ditambah supaya dia tidak mengembangkan pertanyaan.
Kupasrahkan sekujur raga pada tempat duduk yang empuk. Aku sedang menikmati perjalanan yang entah sudah sampai di mana. Tanpa suara musik, meski lirih sekalipun. Tidak ada suara kelakson. Tidak sedikit pun suara dari luar. Senyap.
Tapi aku bisa merasakan kendaraan yang kami tumpangi ini sedang bergerak. Jalan bergelombang atau rata-mulus. Kendaraan melambat atau melaju. Semua gerakan terasa halus. Aku belum pernah mengalami perjalanan semacam ini.
Keadaan berangsur berubah. Itu seperti biasa melandaku dala suatu perjalanan dengan suasana sangat kondusif. Mengantuk. Aku mulai menguap, dan berkali-kali dalam sekian detik saja.
Aku tidak mampu menolak kunjungan kantuk dalam situasi semacam ini. Justru aku sering menikmati lelap selama suatu perjalanan jauh. Tapi kali ini kunjungan kantuk jauh lebih cepat dari seluruh waktu yang pernah kualami selama perjalanan ke mana-mana.
"Bagaimana hubunganmu dengan Puisi, Esai, dan Pantun?"
***
Kesejukan mengusap kulitku. Tidak seperti sedang berada di dataran tinggi tapi seperti baru usai hujan. Usai hujan pun sejuk tidak begini karena tidak terasa ada uap sisa hujan. Tidak ada aroma benda basah. Tidak ada suara tetes sisa di benda-benda.
Suasana pun lengang. Tidak ada suara-suara di sekitar ataupun kejauhan. Suasana seperti dalam ruang kedap sempurna. Ruang kedap tanpa penyejuk buatan, ah, mustahil, pikirku.
"Kita sudah sampai."
Aku berdebar-debar sebab terpikirkan "sampai" di mana. Aku pun membantu ketika dia membuka penutup mataku. Seketika pula pendar putih menyambutku. Mataku tidak menangkap sesuatu apa pun. Jarak jangkau pandangku seperti terhalang pendar-pendar putih yang rapat. Tidak ada kabut sama sekali. Hanya pendar-pendar putih yang rapat.
Oh, di mana ini, gumamku.
Pandangan beralih ke bawah, tepatnya menuju telapak kaki. Kulepaskan sandal jepit. Aku hendak meyakinkan, sepeti apa rasanya pijakanku, dan berada di tempat seperti apakah ini.
Aku tersentak. Aku hanya melihat telapak kakiku tanpa ada telapak kaki Cerpen di sekitarku. Aku langsung menoleh ke samping, tempat dia tadi berada. Tidak ada Cerpen di situ. Mata dan badanku bergerak untuk mencarinya.
Lho, ke mana Cerpen, pikirku.
Aku memanggilnya berkali-kali sambil mengatakan bahwa tanganku masih terikat. Tidak ada sahutan. Tidak ada pula gema panggilanku. Senyap sempurna. Aku sendiri di suatu tempat. Entah di mana ini. Dan aku merasa sedang diceraikan oleh Cerpen secara paksa di sini.
*******
Kelapa Lima, Kupang, 29-11-2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H