Sebentar lagi, tepatnya 20 Desember, Nusa Tengara Timur (NTT) yang dikukuhkan melalui Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II (Kabupaten) akan merayakan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-59. Perayaan HUT, seperti juga provinsi-provinsi lainnya, akan diadakan di ibukota provinsi, yaitu Kota Kupang.
Tanggal 20 Desember di barat laut pulau Timor sudah memasuki musim penghujan. Pada akhir November saja hujan bisa terjadi setiap hari. Dan, musim hujan di pesisir selatan Teluk Kupang ini berdurasi cukup pendek, sekitar 4 bulan, dibandingkan dengan musim kemarau.
Pada musim kemarau sama sekali tidak bisa berharap hujan turun di kota yang terletak pada 10°36’14”-10°39’58” Lintang Selatan dan 123°32’23”–123°37’01” Bujur Timur ini. Iklimnya kering dan dipengaruhi oleh angin musim. Tentu saja jelas berbeda dengan ibukota-ibukota provinsi yang berdekatan dengan garis Khatulistiwa, misalnya Samarinda, Pontianak, Pangkalpinang, dan lain-lain.
Merayakan HUT provinsi di ibukota pada musim hujan sedang bergairah begini, tentunya, saling mengait satu dengan lainnya. Mau-tidak mau semua kaitan pun menyatu dalam sebuah genangan seperti artikel sebelumnya, "Sepanjang Jalan Genangan". Sepakat atau tidak, persoalan genangan masih menjadi pekerjaan rumah yang sangat serius bagi Pemprov NTT atau Pemkot Kupang, tepatnya Dinas Pekerjaan Umum.
Kondisi Permukaan Tanah
Mungkin terlalu mudah untuk mengatakan bahwa persoalan genangan air hujan dan ketersediaan saluran air hujan (drainase) adalah persoalan sepele, jika dibandingkan dengan ibukota-ibukota provinsi lainnya, misalnya Samarinda, Pontianak, Palangkaraya, Banjarmasin, Pangkalpinang, Yogyakarta, dan lain-lain. Tak pelak muncul satu pertanyaan, mengapa persoalan itu ada, bahkan justru mudah ditemukan di pinggir jalan depan kantor Dinas Pekerjaan Umum Prov. NTT alias belum juga terselesaikan selama 59 tahun.
Begini realitas alamnya. Kondisi permukaan tanah di ibukota NTT memang sangat jelas berbeda dengan ibukota-ibukota provinsi lainnya itu. Perbedaannya adalah berbatu karang. Ya, hampir seluruh Kota Kupang dan daerah pengembangannya berdiri di atas batuan gamping (kars).
Kondisi permukaan tanah Kota Kupang berbatu karang yang berongga-rongga dengan topografi agak bergelombang. Sementara Kota Kupang berpusat administratif di Kecamatan Oebobo, dengan kondisi tanah berbatu gamping koral.
Pembuatan Saluran Drainase Tidak Mudah dan Murah
Dari kondisi permukaan tanah yang begitu, maka persoalan ketersediaan saluran air hujan tidaklah mudah dan murah diwujudkan. Tidak mudahnya adalah pada pelaksanaan, yaitu menggali. Kalau di tanah ibukota-ibukota provinsi lainnya bisa dan biasa menggunakan cangkul dengan sekian pekerja dan kurun waktu terukur, bahkan alat berat (eksavator) yang mampu memangkas waktu, tentu saja tidak mudah dilaksanakan di Kota Kupang.
Alat yang biasa digunakan oleh pekerja galian adalah jack hammer, selain linggis, pahat batu dan palu besar. Jack hammer adalah alat pneumatik atau elektromekanikal yang menggabungkan palu langsung dengan pahat. Alat ini biasa digunakan untuk membongkar atau menghancurkan beton (concrete) lantai atau jalan aspal.
Jack hammer pun merupakan alat tunggal alias dijalankan oleh satu orang pekerja. Dengan getaran yang ditimbulkan pada saat pelaksanaan, tentu saja, berpengaruh langsung pada stamina pekerjanya. Tidak jarang para pekerja harus bergantian menggunakannya. Tidak jarang pula terlihat para pekerja bergerombol pada jarak yang pendek dengan galian berkedalaman tertentu.
Jarak yang pendek dalam pelaksanaan, mau-tidak mau, langsung berpengaruh pada waktu pelaksanaan. Kalau mau lebih efektif, jelas, diperlukan pula jack hammer lainnya alias tidak hanya satu untuk 4-6 pekerja. Yang paling terkena dampaknya adalah biaya, baik biaya alat maupun tenaga. Ini yang tidak murah, bukan?
Perencanaan dan Pelaksanaan secara Bertahap
Meski Penulis tidak memiliki data sahih mengenai anggaran tahunan pada Dinas Pekerjaan Umum, khususnya Pekerjaan Pembuatan Saluran Drainase, dengan angka 59 tahun usia Provinsi NTT, dan status administratif Kota Kupang sebagai ibukota bisa sedikit terduga bahwa pekerjaan itu belum benar-benar terencana apalagi terlaksana secara serius dalam tahap-tahap terukur.
Maksudnya, selama 59 tahun, ketersediaan saluran drainase di pinggir-pinggir jalan utama, apalagi keberadaan pusat kegiatan Pemprov NTT di Kota Kupang atau juga Kecamatan Oebobo, bisa terencana dan terlaksana secara bertahap. Memang mustahil bisa terwujud secara optimal hanya dalam kurun 5 tahun terakhir.
Dalam kurun 59 tahun, kalau terencana dan terlaksana secara terukur dan bertahap, tidaklah mustahil sebagian besar wilayah Kota Kupang, paling tidak Kecamatan Oebobo, kelangkaan saluran drainase dan persoalan genangan air hujan tahunan bisa terantisipasi dengan baik.
59 Tahun yang Ironis
Barangkali ironis, adalah kata lain yang terpaksa muncul dalam rentang usia Provinsi NTT. Hal ini pun terkait dengan Pekerjaan Jalan Raya pada bagian pengaspalan yang dilakukan berulang-ulang (berlapis-lapis). Jalan aspal yang mulus tetapi tidak dibarengi dengan pembuatan saluran drainase, tentunya, lumayan ironis untuk usia provinsi yang 59 tahun.
Ya, betapa tidak ironis. Kalau dalam segi perencanaan wilayah akan terkait dengan Dinas Bappeda, ketersediaan saluran drainase di seputaran perkantoran itu, termasuk keberadaan kantor gubernur NTT, masih menjadi pekerjaan rumah yang belum beres. Dan, kalau berkaitan dengan Dinas Pekerjaan Umum, tentu juga ironis, karena di sekitar kantor dinas itu pun masih belum terdapat saluran drainase yang memadai.
Ironis, mungkin kata itu memang tepat ketika diperhadapkan dengan realitas usia 59 tahun yang akan dirayakan pada musim hujan, 20 Desember 2017. Bukankah 20 Desember dan musim hujan terjadi setiap tahun? Apakah setiap perayaan ulang tahun harus pula digenangi oleh ironis demi ironis?
*******
Kelapa Lima, Kupang, 30-11-2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H