Mohon tunggu...
Gus Noy
Gus Noy Mohon Tunggu... Administrasi - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009, asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Air Mati

5 November 2017   16:22 Diperbarui: 5 November 2017   19:08 728
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya sedang berduka sedalam-dalamnya atas kematian air di sudut Kota Kupang, setelah listrik beberapa waktu silam meski akhirnya bangkit lagi dan bersinar terang. Sungguh, duka yang tidak bisa diganti dengan air mata atau air tuba. Duka atas kematian air yang su pasti berdampak menjadi situasi yang sulit.

Biasanya  air hidup pada Sabtu dan Minggu. Hari lainnya, entahlah, antara hidup atau mati. Pokoknya, Sabtu-Minggu adalah hari air hidup. Kalau air hidup begitu, semua penampungan air segera terisi, kecuali faktor "sedang tidak berada di rumah" dengan alasan yang serba masuk akal-faktual.

Sementara itu suhu udara di Kota Kupang tidaklah seperti Kota Bogor, Bandung, Malang, atau dusun-dusun di lereng Gunung Lawu, termasuk dusun asal saya, Dusun Clepor. Dusun saya yang dihuni oleh sekitar 80 warga itu terdapat sungai di bagian utara (kira-kira 100 m di belakang rumah) dan sungai di bagian selatan (kira-kira 200 m di depan rumah atau 100 m di belakang rumah tetangga depan). Airnya tidak pernah kering kerontang.

Di sana, pada musim kemarau, saya sekeluarga biasa mandi di sendang yang berjarak hanya 50 meter dari rumah. Ada pula pemandian umum di dekatnya, yang baru dibangun beberapa tahun ini. Meski rumah kami di sana memiliki sebuah sumur di belakang rumah dan tidak pernah kering, mandi di sendang lebih menyenangkan karena tidak perlu repot menimba air.

Berbeda dengan daerah yang baru saya ini. Kalau terlihat ada beberapa parit atau semacam sungai, isinya hanya karang. Tidak ada air. Kalau terlihat sampah, terutama berbahan plastik, ya, biasalah. Tetapi sampah-sampah itu tidak bisa mengalir, tentunya.

Rumah kontrakan ini juga tidak memiliki sumur, baik sumur timba biasa maupun sumur bor. Jangankan membuat sumur, membuat tangki septik pun tidaklah mudah-murah karena tanahnya berisi batu karang yang bisa sesukanya unjuk kekerasan di permukaan tanah.  

Selain itu di langit Kota Karang mendung hanya gemar berkampanye, berkarnaval, atau berpawai tentang calon hujan dengan iringan lagu impor "November Rain" berirama sumbang, berarak ke pesisir Teluk Kupang hingga bubar entah di mana. Saya sekeluarga sering kecewa, dan sudah tidak percaya pada mendung. 

***

Sejak pindah ke Kota Kasih ini, tepatnya 6 September, setelah pernah dua kali berkunjung untuk suatu pekerjaan, saya nekat memutuskan untuk meninggalkan dusun sejuk saya dan tinggal di sini dengan mengontrak sebuah rumah di daerah Kelapa Lima. Dua kali pernah berkunjung lantas memutuskan untuk pindah, tentunya, saya sudah mengerti seluk-beluk penyediaan air bagi warga kota.

Tetapi sejak Sabtu kemarin air mati. Dua bak mandi kering kerontang. Satu-satunya bak mandi masih berisi adalah bak mandi dekat kamar saya. Itu pun airnya tinggal 1,02 kubik dengan antrean 5 orang, di samping 3 orang tidak mandi, dan 1 orang hanya memakai tisu basah.

Di halaman sebelah kanan rumah memang terdapat tempat penampung air utama berukuran 2,2X4X3. Hanya saja menyisakan air yang tidak terjangkau oleh pompa air yang akhirnya menyebabkan air di rumah benar-benar mengalami gagal jantung alias mati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun