Mohon tunggu...
Gus Noy
Gus Noy Mohon Tunggu... Administrasi - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009, asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Situasi Sulit

5 November 2017   01:16 Diperbarui: 5 November 2017   01:42 569
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Surya timur belum terlalu lebar menyibak tirai cakrawala. Burung-burung liar... Ah, terlalu puitis pembukanya. Saya malah malu sendiri.

Yang biasa sajalah. Pada suatu pagi saya ditanya oleh seorang mahasiswa semester akhir dari sebuah perguruan tinggi di Kupang, "Dalam situasi sulit, apa yang Abang lakukan?"

Nah, kalimatnya sudah tidak puitis lagi, 'kan? Baiklah, saya lanjutkan.

Serta-merta saya menoleh padanya. Secangkir kopi bergula sabu juga mendengar pertanyaan itu. Ah, yang benar saja? Masak, sih, secangkir kopi memiliki telinga? Jangan bercanda, ah!

Pada pagi yang sejuk itu saya merasa seolah sedang disajikan sarapan bermenu serius. Padahal saya terbiasa memulai hari dengan kelakar, apalagi saya paling tidak suka kalah bersaing dengan kicau burung liar di sekitar rumah kontrakan kami. Seketika saya agak gugup.

Bagaimana tidak gugup?! Selain kebiasaan saya berkelakar, pertanyaan tadi sedang disampaikan oleh seorang mahasiswa semester akhir yang sedang serius karena harus segera menyelesaikan masa kuliah.

Di samping gugup, saya juga ragu untuk menjawabnya. Kalau saya tertular serius, berarti saya mendadak lupa diri. Ya, lupa diri karena saya tidak suka memulai hari dengan berpikir serius.

Sebaliknya, kalau saya menjawabnya dengan tidak serius alias dengan sebuah kelakar, saya khawatir, ia tersinggung, merasa kurang saya hargai, lantas menganggap saya sebagai orang yang lebih tua tetapi tidak memahami situasi. Saya pun khawatir, suasana pagi yang sejuk begini tiba-tiba gerah hanya gara-gara saya keliru menyiasati situasi.

Saya belum bisa menanggapi, kecuali dengan pertanyaan balik, "Apa tadi? Kurang jelas. Burung-burung liar terlalu bising."

"Dalam situasi sulit, apa yang Abang lakukan?"

"Dalam situasi sulit, apa yang saya lakukan..."

Saya berpura-pura dengan mengulang pertanyaannya sekaligus mengganti "Abang" dengan "saya" supaya ia merasa saya hargai. Tidak lupa bola mata saya beralih ke sudut atas-kanan agar saya seolah-olah sedang mencari ingatan berkisar masa lalu yang sama sebab saya pun pernah menjadi mahasiswa semester akhir.

Ah, mengapa saya mendadak berpura-pura hanya supaya begitu, ya, termasuk pertanyaan balik seperti seolah-olah pendengaran saya kurang jelas menangkap pertanyaannya? Bukankah kepura-puraan bisa dipelintir sebagai upaya menipu suatu situasi?

Menipu sama saja dengan mendusta atau membohong. Tindakan itu merupakan pelanggaran terhadap hukum Tuhan. Percuma saya memeluk agama kalau saya masih menyetujui suatu kebohongan yang saya sengaja lakukan sendiri. Bukankah sengaja berarti sudah terencana? Bukankah pelanggaran yang terencana justru berlipat pelanggarannya? Bukankah lebih baik menjadi seorang ateis saja sebab, toh, beragama pun sia-sia kalau masih sengaja melanggar hukum Tuhan?

Waduh! Alangkah tidak pantasnya kelakuan saya yang memulai pagi dengan dusta alias melanggar hukum Tuhan. Ah, mengapa kemudian pagi yang sejuk justru terbitlah situasi sulit, ya?

"Yang saya lakukan adalah...."

Saya tidak mampu melanjutkan. Akhirnya secangkir kopi menjadi penampungan kesulitan saya.

*******

Kelapa Lima, Kupang, 5 November 2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun