Saya berpura-pura dengan mengulang pertanyaannya sekaligus mengganti "Abang" dengan "saya" supaya ia merasa saya hargai. Tidak lupa bola mata saya beralih ke sudut atas-kanan agar saya seolah-olah sedang mencari ingatan berkisar masa lalu yang sama sebab saya pun pernah menjadi mahasiswa semester akhir.
Ah, mengapa saya mendadak berpura-pura hanya supaya begitu, ya, termasuk pertanyaan balik seperti seolah-olah pendengaran saya kurang jelas menangkap pertanyaannya? Bukankah kepura-puraan bisa dipelintir sebagai upaya menipu suatu situasi?
Menipu sama saja dengan mendusta atau membohong. Tindakan itu merupakan pelanggaran terhadap hukum Tuhan. Percuma saya memeluk agama kalau saya masih menyetujui suatu kebohongan yang saya sengaja lakukan sendiri. Bukankah sengaja berarti sudah terencana? Bukankah pelanggaran yang terencana justru berlipat pelanggarannya? Bukankah lebih baik menjadi seorang ateis saja sebab, toh, beragama pun sia-sia kalau masih sengaja melanggar hukum Tuhan?
Waduh! Alangkah tidak pantasnya kelakuan saya yang memulai pagi dengan dusta alias melanggar hukum Tuhan. Ah, mengapa kemudian pagi yang sejuk justru terbitlah situasi sulit, ya?
"Yang saya lakukan adalah...."
Saya tidak mampu melanjutkan. Akhirnya secangkir kopi menjadi penampungan kesulitan saya.
*******
Kelapa Lima, Kupang, 5 November 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H