Mohon tunggu...
Gus Noy
Gus Noy Mohon Tunggu... Administrasi - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009, asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari).

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Pegal Gagal Menjegal

2 November 2017   22:14 Diperbarui: 3 November 2017   01:14 615
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kegiatan saya lebih banyak berada di tempat duduk, sejak saya memutuskan untuk tidak melanjutkan berlatih voli, sepakbola, dan bulutangkis setelah lulus SMP dan merantau ke Yogyakarta. Kalaupun saya bermain tenis meja, tentu saja, menjadi sangat jarang jika saya bandingkan dengan kegiatan di tempat duduk.

Sebelum kuliah di Jurusan Arsitektur  di indekos saya biasa duduk berjam-jam untuk menggambar atau membaca karena itulah kegiatan paling hemat dalam perhitungan ekonomi bulanan seorang anak kos. Setelah lulus kuliah, dan bekerja sebagai arsitek, tentu saja, saya melanjutkan rutinitas itu. Kalaupun kemudian suntuk menulis, membuat karikatur pesanan, atau membuat ilustrasi, tetap dengan duduk, bukan?

Ya, duduk merupakan rutinitas saya sejak zaman saya masih SMA. Selain berolah raga, saya juga melakukan kegiatan fisik lainnya, misalnya membersihkan tanaman liar di sekitar rumah atau kebun. Tetapi, tetap saja, secara keseluruhan perbandingan  kegiatan fisik itu akan jomplang (berat sebelah) dengan kegiatan duduk.

Anda bisa bayangkan, bagaimana rasa pegal pun menjadi sesuatu yang sering menghampiri saya. Belum lagi persoalan otot, leher, kaki, atau bagian tubuh lainnya, metabolisma, kemerosotan stamina, gangguan kejiwaan (depresi), atau juga penyakit selalu 'menghantui' saya. Jangankan berdiri sejak tahun 1900-an, lha wong duduk sejak tahun 2000-an saja sudah dihantui pegal.

Anda bisa membayangkan pula, bagaimana kelak atau sampai tua bangka saya masih berada di tempat duduk karena, selain menjadikan kegiatan gambar-menggambar sebagai hidup saya, juga dibarengi dengan kegiatan tulis-menulis. Apalagi semua kegiatan di tempat duduk itu merupakan kegemaran (hobi bahkan bakat) saya hingga saban hari, di samping letak tempat tinggal saya di Kota Balikpapan bagian tengah dengan kepadatan tinggi.

Mungkin Anda menduga, ketika rasa pegal itu menghampiri maka saya akan segera berolah raga. Oh, belum tentu begitu. Pegal selalu berlangganan untuk mengunjungi saya setelah berjam-jam duduk, tetapi saya berusaha mengusirnya dengan menggerakkan anggota tubuh saya, misalnya leher, lengan, punggung, dan kaki. Sedikit senam kecil dalam tempo tidak lebih dari 10 menit.

Apakah dengan hanya sedikit senam dalam durasi pendek itu lantas pegal pun segera beranjak? Oh, tentu tidak semudah itu. Kalau kemudian saya paksakan dengan banyak bergerak setiap hari, saya justru khawatir, jangan-jangan bisa berdampak buruk, minimal kelelahan hingga mengantuk ketika menggambar atau menulis. Solusi paling darurat, ya, menambah sedikit durasi gerak badan atau sekadar menyeimbangkan kegiatan dengan tetap berfokus pada kegiatan utama.

Dengan sedikit menambah porsi waktu untuk bergerak -- beberapa kali malah senam pagi seri D atau senam kesegaran jasmani  (SKJ) jadul, suka-tidak suka atau mau-tidak mau saya harus menggunakan semacam bahan pembantu sebagai solusi berikutnya. Ya, antisipasi dampak 'kaget' antara duduk dan senam sebentar. Apa lagi kalau bukan balsam. 

Balsam adalah bagian dari benda yang harus mendampingi saya, meski, masih saja tidak setiap hari saya memanfaatkan kehadirannya untuk seluruh tubuh saya agar terbebas dari ulah pegal bahkan kram. Saya hanya mampu melakukannya pada bagian yang terjangkau oleh telapak tangan saya. Selebihnya, kalau istri saya tidak sibuk, ya, dibantu oleh istri saya sendiri. Masak, sih, dibantu oleh istri tetangga?

Persoalannya, kalau menggunakan balsam biasa, istri saya sering berkomentar. Kemasannya kuna alias jadul, aroma seperti mbah-mbah, lengket di kulit, noda di pakaian, dan seterusnya. Aduhai, saya sering pula mendadak merasa sudah menjadi kakek-kakek yang sedang diomelin nenek-nenek. Padahal, 'kan, usia saya dan istri saya masih sangat jauh dari 70 tahun?

Oleh sebab itu saya harus memilih balsam yang tepat secara kemasan, selain, tentunya, tetap kepada aspek utama, yaitu manfaat bagi tubuh saya. Tetapi saya berpikir, pilihan saya belumlah sesuai dengan pilihan istri saya. Bagi saya--yang sering meminta bantuan, pilihan istri lebih utama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun