Ketiga hal tersebut membuat saya berpikir, bagaimana kalau saya sendiri yang membuat semacam kamus karena saya perantau sejati, meskipun, mungkin, sudah ada kamus Bahasa Melayu Bangka. Paling tidak, untuk saya sendiri karena saya tidak akan menetap di Bangka lagi.
Tanpa perlu repot berpikir sampai pikiran ngepot masuk got, sejak mudik pada 12 Maret 2016 (karena ayah saya meninggal dunia) saya mulai mengumpulkan kosakata yang masih saya ingat. Dan, saya segera memikirkan judulnya. Kamus Bahasa Budak Sekaban. Ya, begitu saja, meskipun belum jelas kapan selesai tersusun menjadi sebuah buku alias semacam kamus. Â
Kosakata dan contoh kalimat dalam (calon) buku "Kamus Bahasa Budak Sekaban" (KBBS) berkecenderungan menggunakan dialek Sungailiat sebagaimana wilayah resmi lingkup regional-nasional yang tertera dalam akta kelahiran saya. Mungkin sebagian kosakata di Sungailiat memiliki kesamaan dengan Pangkalpinang atau beberapa daerah lainnya di Pulau Bangka.
Tetapi, tentu saja, latar kampung saya paling mendominasi perbendaharaan kata sekaligus pengucapannya sehingga saya menyebut kamus ini dengan lebih spesifik, yaitu "Budak Sekaban". Tentu saja tidak ada dialek "Budak Sekaban" sebab "Budak Sekaban" tidak memiliki wilayah resmi alias wilayah ngerahul. "Budak Sekaban", maksud saya, adalah wilayah pergaulan (kelompok; kaban/keben/sekaben) saya sendiri di Kampung Sri Pemandang Atas.
KBBS tidak menggunakan metode penelitian yang ilmiah seperti biasa dilakukan oleh kalangan akademisi. Hanya berupa ingatan ditambah investigasi lagi (pulang kampung). Ya, saya harus pulang kampung lagi, mengumpulkan kosakata dan dialog, karena ingatan bukanlah andalan satu-satunya.
Oleh sebab "tidak menggunakan metode penelitian ilmiah" tadi, tidaklah menutup kemungkinan jika terjadi polemik di seputaran Sungailiat. Untuk mengantisipasi adanya polemik secara ilmiah, Â saya harus membuat semacam rambu-rambu dengan istilah "Budak Sekaban" ditambah dengan "Bukan Kamus Biasa".
Dengan adanya rambu-rambu tersebut, saya harap, pembaca bisa memahami semua kekeliruan bahkan kesalahan fatal yang terjadi. Tetapi, diusahakan, kekeliruan bahkan kesalahan terjemahan tidaklah menjadi persoalan krusial bagi sistem politik bangsa-negara RI apalagi hingga bertendensi subversi-makar. Menteri Perikanan dan Kelautan Susi Pudjiastuti pun tidak perlu turun tangan sambil memberi aba-aba, "Tenggelamkan kamus itu."
Demikian saja "bocoran" rencana saya. Sementara pada 2017 ini saya belum juga mudik, bahkan dua hari lagi saya akan berangkat ke Kupang, N. T. T., dan berada selama 3-4 bulan di sana (sampai akhir 2017), sehingga saya belum bisa memastikan mengenai realisasi buku atau semacam kamus itu. Â
*******
 Panggung Renung Balikpapan, 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H