Ini dalam rangka ulang tahun Kompas dan sebuah kejujuran atas proses berkarya. Saya mengakui, bahwa saya juga belajar menggambar kartun dan menulis opini dipengaruhi oleh Harian Kompas.
Pada 1985-an saya mulai membaca Harian Kompas di perpustakaan SMP Maria Goretti, Sungailiat–sebuah milik sebuah yayasan Katolik. Biasanya pada jam istirahat.
Tidak sering, memang. Hanya mencari berita olah raga karena hobi saya bermain sepak bola, dan bola voli. Yang paling sering jika kehabisan uang jajan. Ahai!
Saya pun diberikan (oleh bapak saya) buku kumpulan kartun editorial Om Pasikom : Indonesia 1967-1980-nya GM Sudarta (nama kartunis kebanggaan Kompas dan Indonesia ini seringkali 'mengusik' pikiran saya karena nama bapak saya J. Slamet Sudharto atau bisa saya mirip-miripkan menjadi JS Sudharto) yang harganya cukup mahal, Rp. 2.750,00. Karena saya belum memahami kartun-kartun editorial, kecuali kartun humor (gag cartoon), buku itu saya simpan, dan saya bawa ke Yogyakarta ketika SMA.
Pada 1989-an saya diperkenalkan kawan gereja, yang kuliah di Fisipol UGM, mengenai kartun opini karena saya menekuni kartun-karikatur. Tentu saja, yang paling utama adalah Panji Koming-nya Dwi Koendoro. Saya masih belum memahami bahasa politik versi kartun opini tetapi “terpaksa” membaca demi menyenangkan hati kawan saya.
Selanjutnya pada 1991-an. Kebetulan saya sedang belajar jurnalistik di pers kampus UAJY bernama Majalah Mahasiswa Teknik Sigma. Kalau tidak keliru, di unit pers tingkat fakultas itu sering tergeletak harian tersebut. Entah siapa yang membeli, pastinya para senior, yang mayoritas dari Jurusan (kini: Program Studi) Teknik Sipil.
Karena spesifikasi tugas di bagian tata artistik, ilustrasi dan kartun-karikatur, saya diajari senior, Mas Bakti Tejamulya, mengenai kartun editorial dan kartun opini. Om Pasikom, dan Panji Koming menjadi bahan “wajib” belajar saya. Sementara rekan-rekan saya belajar mengenai tulis-menulis berita, opini, esai, dan feature.
Pada masa aktif di pers kampus, saya tidak pernah mendapat kesempatan mengikuti pelatihan jurnalistik tingkat lanjut di Jakarta. Senior-senior saya selalu membuat saya iri karena mereka sering bercerita mengenai masa pelatihan jurnalistik di sana yang, tentunya, juga diisi oleh pembicara dari Kompas.
Dengan menyisihkan uang bulanan, saya pun berlangganan Kompas, selain Majalah Humor. Selain kartun, saya mulai membaca berita, dan opini. Ya, menggambar kartun merupakan kewajiban sebagai seorang petugas ilustrasi di pers kampus, tetapi diam-diam saya tekun membaca halaman opini harian tersebut.
Tulisan opini di Harian Kompas yang serius, dan tulisan humor di Majalah Humor sangat memengaruhi saya dalam proses tulis-menulis saya. Saya pun meramu tulisan saya dengan keduanya. Alhasil, tidak serius, dan tidak lucu. Alamak!
Dan, terkait dengan kartun-karikatur, pada 1996 saya pun membuat karikatur GM Sudarta, selain Jaya Suprana, Wimar Witular, dll., untuk suvenir sebagai seorang pembicara dalam Seminar Nasional "Mengintip Demokrasi lewat Lubang Humor" yang diselenggarakan oleh Senat Mahasiswa Fisip UAJY. Pada kesempatan itu pula saya benar-benar bisa melihat dan mendengar suara GM Sudarta. Lalu, sedikit meloncat, pada 2012 saya berteman dengan beliau di media sosial sehingga menginspirasi saya untuk membuat sebuah kartun.
Tetapi nama saya pernah singgah di Kompas pada 2000, tepatnya 26 Juli 2000. Bangga dong. Eh, sebentar. Bukan kartun atau tulisan, melainkan sebagai pembicara dalam seminar Hak Atas Kekeayaan Intelektual yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Masyarakat HAKI Indonesia (IIPS/Intellectual Indonesian Property Right), Jakarta.
Pembicara dari akademisi, ya? Oh, bukan. Saya, dengan nama Agustinus Wahyono, disebutkan sebagai Produsen T'shirt dari Yogyakarta. Lho, kok bisa? Bisa saja asalkan percaya sebab tiada yang mustahil bagi orang percaya, katanya, sih, begitu.
Ya, bisa saja "sebagai Produsen T'shirt" karena, berawal dari esai saya, "Dagadungan : Realitas Sebuah Impotensi" menjadi nominator dalam lomba esai HAKI IIPS 2000. Dalam esai tersebut saya menjadikan Dagadu Djokdja sebagai kasusnya untuk pembelajaran mengenai Hak Cipta.
Kemudian IIPS menghubungi saya untuk menjadi pembicara dalam seminar HAKI di Yogyakarta, berlanjut di Jakarta, karena Dagadu Djokdja sedang berhalangan sejak seminar sebelumnya di Yogyakarta. Pengumuman advestorial mengenai acara seminar di Jakarta itu muncul di Kompas. Lha kok bisa, lagi?
Setelah menuliskan nama saya di buku tamu, lalu saya bertemu seorang penulis Yogyakarta, yaitu Mas Prihatin, yang juga guru SMA Kolose de Britto, dan beliau pernah menjadi rekan saya sebagai juri sebuah lomba menulis cerpen tingkat pelajar se-DIY. Kata beliau, “Aku ngerti kamu diundang.
Tadi aku lihat di buku tamu, khusus penulis.” Lho, ternyata nama saya masuk dalam daftar undangan penulis Kompas. Lha kok bisa? Ya, bisa saja, asalkan percaya sebab tiada yang mustahil bagi orang percaya. Aduhai!
Beberapa bulan kemudian saya mendapat kartu ucapan selamat ulang tahun dari Kompas. Waduh, lengkap sudah “lha kok bisa”!
Tahun-tahun selanjutnya kembali ke kampung halaman, Sungailiat, bahkan merantau ke Jakarta, saya tidak berlangganan Kompas tetapi rutin membeli edisi Minggu-nya. Biasa, sejak ada perayaan rahasia bernama “Minggu Hari Raya Budaya” bagi sebagian penulis, khususnya genre seni sastra. Tidak ketinggalan saya pun membeli buku kumpulan kartun Om Pasikom : Reformasi, dan Panji Koming.
Kemudian saya pindah ke Balikpapan, Kaltim. Kebetulan keluarga di Kota Minyak berlangganan Kompas. Nah, kali ini saya bisa rutin membacanya. Tidak hanya kartun, opini, rubrik Seni, tetapi lain-lainnya.
Begitulah sebagian proses berkarya saya, baik mengartun maupun menulis, yang pernah dipengaruhi oleh Kompas, meskipun sejak 2016 kami tidak berlangganan Kompas versi cetak lagi. Saya harus menuliskan ini sebagai sebuah kejujuran saya.
Kejujuran saya pun termasuk dalam hal pembelajaran kepada segelintir orang muda, termasuk mahasiswa yang baru belajar mengenai jurnalistik-pers, di Balikpapan. Saya selalu menyarankan mereka membaca Kompas.
Saya menjadikan Kompas sebagai salah satu referensi penting untuk proses tulis-menulis. Kalau suka menulis opini, bacalah rubrik Opini Kompas. Kalau suka membuat kartun opini, ada juga di sana. Atau esai-esai yang menyegarkan. Alasan saya, tata bahasa tulisan Kompas sangat tertib, dan kartun-kartunnya sering menggemaskan. Demikian pula berita, feature, ulasan, tulisan perjalanan, ilmu pengetahuan, dan lain-lain.
Selamat ulang tahun, Kompas! Terima kasih atas pengajaran non-formal yang saya terima, meski orang-orang Kompas tidak pernah tahu kalau tidak saya ungkapkan ini. Dan, meskipun karya saya tidak pernah dimuat oleh Kompas, tetaplah saya berterima kasih tanpa perlu malu-gengsi.
*******
Panggung Renung Balikpapan, 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H