Bagi saya, menjadi tukang gambar bangunan alias arsitek yang bisa menulis merupakan sebuah anugerah. Menjadi arsitek saja sudah merupakan sebuah anugerah, apalagi ditambah bisa menulis.
Baik menggambar bangunan maupun menulis, keduanya memerlukan konsistensi. Saya masih belajar mengenai perkembangan arsitektur melalui kegiatan di Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Cabang Balikpapan. Saya masih tekun membuat rancangan arsitektur, meski sederhana. Dan soal tulis-menulis, bisa bersanding dengan kegiatan saya merancang (mendesain) bangunan.
Paduan antara arsitektur dan tulisan saya lakukan pada pengamatan bangunan. Sebuah tulisan “Robohnya Sejarah Kami” (RSK) merupakan satu contohnya. Tulisan tersebut dimuat di rubrik Opini Harian Bangka Pos pada edisi Selasa, 25 Juli 2005 dengan nama lengkap saya Agustinus Wahyono, S.T., dan terabadikan dalam buku Siapa Mengontrol Siapa (2016).
Melalui RSK saya mengkritisi tanggapan seorang anggota DPRD Kabupaten Bangka Barat terhadap gedung Kawilasi Timah di Muntok pada sebuah harian daerah, Sabtu 16 Juli 2005. “Bangunan gedung tua tak terawat dan seperti tidak bertuan itu, sangat mengganggu keindahan kota. Dari pihak Timah kalau mau ngasih ke pemda ya hibahkan saja, kalau tidak alangkah baiknya dirobohkan saja daripada mengganggu pemandangan. Masak di tengah kawasan perkotaan ada gedung sarang hantu,” ucap beliau.
Gedung Kawilasi Timah sebelumnya adalah Kantor Pusat Pemerintahan (Residen) Bangka, yang bernama Hoofdbureau Banka Tinwinning Bedriff. Gedung berlantai dua ini dibangun oleh Kolonial Belanda pada 1915 – saya keliru melihat angka tahun karena faktor kotor pada angka (berlumut kerak) yang saya tulis 1816.
Bangunan monumental, begitulah istilah dalam mata kuliah pilihan saya. Sebuah bangunan disebut monumental, selain memiliki ukuran besar dan bentuk tertentu, juga latar sejarahnya, gaya, dan usianya. Gaya arsitekturnya adalah kolonial. Sedangkan usia sebuah bangunan monumental minimal 50 tahun.
Meskipun kekurangan informasi (referensi) mengenai gedung Kawilasi Timah ini, semisal siapa arsiteknya, saya tetap menuliskannya dalam rangka kepedulian terhadap bangunan bersejarah. Terlebih, pada 2005, Muntok dicanangkan sebagai Kota Wisata Sejarah. Apakah bukti fisik yang juga bisa meyakinkan sebagai Kota Wisata Sejarah, jika salah satunya bukan berupa bangunan bersejarah, ‘kan?
Sudah lama, ya, 2005 alias 12 tahun silam? Lantas apa dampak dari RSK?
Dampak pertama, RSK menjadi bahan pertimbangan Kepala Bappeda Provinsi Babel. Hal ini diberitahukan oleh kakak saya, Antonius Wahyudi, ketika masih berdinas di Bappeda Babel. Sayangnya saya lupa nama Kepala Dinas Bappeda Babel pada waktu itu.
Dampak kedua, pada 21 Mei 2017 saya melihat foto-foto wisata keluarga kami di Bangka Barat. Satu obyek wisata yang sangat mengagetkan saya adalah Museum Timah Indonesia Muntok. Saya tidak asing pada tampilan depan bangunan tersebut. Bangunan tersebut saya tulis dengan judul RSK, dan telah diperbaiki menjadi museum!
Kemudian saya pajang pada beranda FB saya pada 22 Mei 2017, dari foto sekarang (2017) maupun foto 2004 ketika saya berada di sana. Tidak lupa saya sematkan (tag) pada akun Ketua IAI Pusat Ahmad Djuhara. Komentar beliau, “Terima kasih sudah menjaga arsitektur Indonesia.”
Anugerah lagi, ‘kan?
Konsistenitas dalam kepekaan (kritis) terhadap sekitar, dan tekun mengolah diri sesuai dengan bidang studi bukanlah sekadar angan-angan jika kemudian mendapat anugerah alias penghargaan, meskipun tidak berbentuk uang dari pemerintah atau instansi terkait. Tidak perlulah terlalu berharap atau berambisi apa-apa, anugerah akan datang pada waktunya, meskipun tidak serta-merta pada saat itu.
Robohnya Sejarah Kami*
Saya amat sangat prihatin ketika membaca sepenggal ucapan seorang anggota DPRD Kabupaten Bangka Barat tersebut mengenai gedung Kawilasi Timah di Muntok pada sebuah harian daerah, Sabtu 16 Juli 2005. “Bangunan gedung tua tak terawat dan seperti tidak bertuan itu, sangat mengganggu keindahan kota. Dari pihak Timah kalau mau ngasih ke pemda ya hibahkan saja, kalau tidak alangkah baiknya dirobohkan saja daripada mengganggu pemandangan. Masak di tengah kawasan perkotaan ada gedung sarang hantu,” ucap beliau.
Sungguh saya amat sangat prihatin. Tapi setelah saya melihat gelar kesarjanaan beliau, saya mahfum. Tetapi pula saya khawatir bahwa pernyataan beliau, sebagai wakil rakyat, menjadi semacam slogan dangkal yang mungkin dapat mempengaruhi sebagian orang untuk menindaklanjuti dengan “dirobohkan saja”. Dampaknya, bisa “merobohkan” bangunan-bangunan kuno yang lain, yang belum benar-benar dicermati kadar kesejarahan dan kebudayaannya. Ah, semoga tidak segampang itu pengaruhnya.
Sesuatu yang tidak terawat memang sangat mengganggu keindahan. Namun, untuk kasus gedung bekas Kawilasi Timah, apakah harus semudah itu mengatakan “sangat mengganggu keindahan kota”, “mengganggu pemadangan”, dan “alangkah baiknya dirobohkan saja” di media massa yang jelas-jelas akan dibaca oleh tidak sedikit masyarakat?
Saya memang bukan budayawan dan sejarawan. Saya hanya tahu seupil tentang sejarah Bangka Belitung, Muntok, dan Timah. Seupil. Tapi, meski seupil, saya berusaha menghargai sejarah sesuai dengan takaran seupil saya. Dalam hal ini adalah bangunan tua. Dan saya, sebagai masyarakat biasa serta bukan siapa-siapa, bermaksud memberi secuil-dua cuil pendapat sesuai dengan status saya sebagai masyarakat biasa.
Gedung Kawilasi Timah, atau awalnya bernama Hoofdbureau Banka Tinwinning Bedriff dan sekaligus pusat pemerintahan (Residen) Bangka dibangun tahun 1816. Bukan gedung hiburan malam atau perjudian. Bangunan bergaya kolonial tersebut, seperti yang ditulis pada kalimat awal oleh koran lokal tadi, merupakan bangunan bertingkat pertama kali di Muntok. Waow!
Dan timah. Ya, timah. Bahkan timah pernah menjadi salah satu penyumbang devisa terbesar di negara kita. Bukan sahang (lada putih). Bukan kelapa sawit. Apalagi ikan sembilang.
Bangunan bekas Kawilasi Timah, yang sangat berkaitan dengan urusan timah itu merupakan bangunan monumental; bangunan yang mempunyai nilai sejarah (termasuk fungsi bangunan saat itu) dan budaya. Serta, tidak mustahil bahwa bangunan kuno tersebut merupakan bagian dari landmark Kota Muntok, di samping Wisma Ranggam, Pesanggrahan Menumbing, Rumah Mayor, Kantor dan Penjara Syahbandar, Klenteng, Masjid Jami’, pabrik peleburan Timah, dan lain-lain. Obyek wisata pun tidak cuma pantai yang elok atau taman atau kebun yang montok.
Di beberapa kota besar di Indonesia modernisasi bukan berarti robohisasi bangunan-bangunan bersejarah. Bangunan-bangunan bergaya arsitektur kolonial yang memiliki nilai sejarah yang tinggi dirawat, dilestarikan, dan diabadikan dalam buku, misalnya buku Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia, Arsitektur Kolonial di Surabaya, Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Malang, dan lain-lain.
Kajian-kajian sejarah dan budaya terhadap bangunan-bangunan tua sungguh-sungguh dilakukan, apakah pantas menjadi bangunan cagar budaya ataukah tidak alias “silakan dirobohkan saja”. Yang sempat terpikirkan, maaf, apakah Muntok adalah kota paling besar, paling maju, paling modern di Indonesia saat ini sehingga bangunan monumental bekas Kawilasi Timah itu wajar “dirobohkan saja”?
Saya coba bandingkan dengan New York (Maaf, apakah Muntok lebih modern dan indah dibanding New York?), Amerika Serikat. Saya percaya bahwa sebagian pembaca bisa membayangkan seberapa megah New York, kendati belum pernah ke sana, termasuk saya.
Dalam buku New York, A Guide To The Metropolis, Walking Tours of Architecture and History(Gerard E. Wolfe, Second Edition, New York: McCraw-Hill, Inc, 1988) saya salut pada kepedulian “pemda” New York dalam melestarikan bangunan bersejarah di saat bangunan-bangunan modern-high tech saling berlomba-lomba meraih pelangi dan bintang di sana dengan payung hukum Landmark Preservation Law tahun 1965.
Orang-orang New York, yang jelas-jelas pikirannya jauh lebih modern daripada saya ini, begitu sadar akan sejarah dan karakteristik (Genius Loci) kota beserta komponen fisiknya. Bukan saja persoalan “mengenang sejarah dan masa jaya” karena setiap bangunan monumental memiliki kontribusi sejarah dan budaya masing-masing. Melainkan pula bangunan-bangunan monumental, misalnya Kapel St.Paul (1766), The Germania Building (1865), The Educational Alliance (1891), The Bank of Tokyo (1895), Woolworth Building (1913), The Former America Telephone & Telegraph Building (1917), dan sebagainya itu merupakan khasanah pesona sekaligus obyek wisata budaya yang diunggulkan.
Atau negara tetangga kita, Singapura. Menurut catatan Prof. Ir. Eko Budihardjo, M.Sc., dalam Konservasi Arsitektur sebagai Warisan Budaya (1997), Singapura pernah berbuat keliru dengan membongkar bangunan-bangunan kuno untuk memberikan tempat bagi bangunan baru yang serba modern dengan teknologi canggih. Akibat yang kemudian diderita adalah menurunnya turis mancanegara, karena mereka tidak lagi bisa menikmati keunikan yang khas dari Kota Singa.
Menyadari hal tersebut digalakkanlah kegiatan pelestarian atau konservasi; baik arsitekturnya (seperti hotel Raffles) maupun lingkungannnya (seperti China Town, Little India dan Kampung Melayu). Biarpun kesadaran tersebut datang terlambat namun hasilnya toh cukup mengesankan. Wisatawan yang berkunjung ke Singapura disuguhkan dengan obyek wisata yang bervariasi, mulai dari yang berwajah kuno sampai dengan yang berpenampilan modern dan pasca modern.
Sementara dalam tulisan Kawasan Kuno Tambang Emas di Perkotaan (1997) Ir. Harry Miarsano, M.Arch., mengatakan, ada tiga keuntungan yang dapat diperoleh dalam upaya penyelamatan yaitu keuntungan budaya, ekonomi dan sosial. Keuntungan budaya diperoleh karena semakin memperkaya sumber sejarah sehingga akan menambah rasa kedekatan (sense of attachment). Keuntungan ekonomi dapat meningkatkan taraf hidup, omzet penjualan, harga sewa, pajak pendapatan dan mengurangi biaya pergantian (replacement cost). Sedangkan keuntungan sosial timbul karena meningkatnya nilai ekonomi dan menumbuhkan rasa percaya diri pada masyarakat.
Tapi barangkali dari sudut struktural, setelah benar-benar dilakukan uji laboratorium, bangunan tersebut sudah tidak kokoh sehingga bisa berbahaya jika dipergunakan. Perobohan bangunan kuno dapat dimaklumi.
Akan tetapi, alangkah baiknya dibangun kembali bangunan yang memiliki karakteristik bentuk yang sama meskipun fungsi (sebagai kantor pusat pemerintahan) berbeda. Di sini renovasi bukan berarti kehilangan esensi dengan cara robohisasi.
Di samping itu, karena gedung tersebut merupakan properti PT Timah Tbk., alangkah baiknya keberadaan bangunan tersebut dimusyawarahkan kembali dengan PT Timah Tbk., apakah PT Timah Tbk., akan merawat dan memperbaiki seperti aslinya sebagai aset sekaligus obyek studi dan obyek wisata sejarah-budaya, ataukah dihibahkan kepada Pemda Kabupaten Bangka Barat untuk dirawat dan dikelola sebagai kantor sekaligus obyek wisata sejarah-budaya, ataukah mungkin dikelola bersama demi identitas, landmark dan prospek pariwisata Kota Muntok yang pernah berjaya sebagai ibu kota pertama di Pulau Bangka.
Paling tidak, Pemda Kabupaten Bangka Barat tetap menghargai properti orang lain, pemda bisa tetap bekerja sama secara harmonis dengan PT Timah Tbk. demi kemajuan Kabupaten Bangka Barat di masa depan dalam bidang wisata sejarah, PT Timah Tbk., bisa menyadari betapa berharganya bangunan tua yang mereka miliki, dan lain-lain.
Alangkah baiknya juga kita berpikir, atau katakanlah berandai-andai, bagaimana prospek bekas gedung Kawilasi Timah tersebut serta bangunan kuno lainnya, selain ‘terpaksa’ bersepakat dengan kalimat “dirobohkan saja”. Jangan sampai malah terjadi “robohnya sejarah kami” akibat kebijakan-kebijakan yang serba tergesa-gesa. Semoga tidak terjadi.
*******
Panggung Renung Balikpapan, 22 Mei 2017
*) Meniru judul roman Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H