Saya coba bandingkan dengan New York (Maaf, apakah Muntok lebih modern dan indah dibanding New York?), Amerika Serikat. Saya percaya bahwa sebagian pembaca bisa membayangkan seberapa megah New York, kendati belum pernah ke sana, termasuk saya.
Dalam buku New York, A Guide To The Metropolis, Walking Tours of Architecture and History(Gerard E. Wolfe, Second Edition, New York: McCraw-Hill, Inc, 1988) saya salut pada kepedulian “pemda” New York dalam melestarikan bangunan bersejarah di saat bangunan-bangunan modern-high tech saling berlomba-lomba meraih pelangi dan bintang di sana dengan payung hukum Landmark Preservation Law tahun 1965.
Orang-orang New York, yang jelas-jelas pikirannya jauh lebih modern daripada saya ini, begitu sadar akan sejarah dan karakteristik (Genius Loci) kota beserta komponen fisiknya. Bukan saja persoalan “mengenang sejarah dan masa jaya” karena setiap bangunan monumental memiliki kontribusi sejarah dan budaya masing-masing. Melainkan pula bangunan-bangunan monumental, misalnya Kapel St.Paul (1766), The Germania Building (1865), The Educational Alliance (1891), The Bank of Tokyo (1895), Woolworth Building (1913), The Former America Telephone & Telegraph Building (1917), dan sebagainya itu merupakan khasanah pesona sekaligus obyek wisata budaya yang diunggulkan.
Atau negara tetangga kita, Singapura. Menurut catatan Prof. Ir. Eko Budihardjo, M.Sc., dalam Konservasi Arsitektur sebagai Warisan Budaya (1997), Singapura pernah berbuat keliru dengan membongkar bangunan-bangunan kuno untuk memberikan tempat bagi bangunan baru yang serba modern dengan teknologi canggih. Akibat yang kemudian diderita adalah menurunnya turis mancanegara, karena mereka tidak lagi bisa menikmati keunikan yang khas dari Kota Singa.
Menyadari hal tersebut digalakkanlah kegiatan pelestarian atau konservasi; baik arsitekturnya (seperti hotel Raffles) maupun lingkungannnya (seperti China Town, Little India dan Kampung Melayu). Biarpun kesadaran tersebut datang terlambat namun hasilnya toh cukup mengesankan. Wisatawan yang berkunjung ke Singapura disuguhkan dengan obyek wisata yang bervariasi, mulai dari yang berwajah kuno sampai dengan yang berpenampilan modern dan pasca modern.
Sementara dalam tulisan Kawasan Kuno Tambang Emas di Perkotaan (1997) Ir. Harry Miarsano, M.Arch., mengatakan, ada tiga keuntungan yang dapat diperoleh dalam upaya penyelamatan yaitu keuntungan budaya, ekonomi dan sosial. Keuntungan budaya diperoleh karena semakin memperkaya sumber sejarah sehingga akan menambah rasa kedekatan (sense of attachment). Keuntungan ekonomi dapat meningkatkan taraf hidup, omzet penjualan, harga sewa, pajak pendapatan dan mengurangi biaya pergantian (replacement cost). Sedangkan keuntungan sosial timbul karena meningkatnya nilai ekonomi dan menumbuhkan rasa percaya diri pada masyarakat.
Tapi barangkali dari sudut struktural, setelah benar-benar dilakukan uji laboratorium, bangunan tersebut sudah tidak kokoh sehingga bisa berbahaya jika dipergunakan. Perobohan bangunan kuno dapat dimaklumi.
Akan tetapi, alangkah baiknya dibangun kembali bangunan yang memiliki karakteristik bentuk yang sama meskipun fungsi (sebagai kantor pusat pemerintahan) berbeda. Di sini renovasi bukan berarti kehilangan esensi dengan cara robohisasi.
Di samping itu, karena gedung tersebut merupakan properti PT Timah Tbk., alangkah baiknya keberadaan bangunan tersebut dimusyawarahkan kembali dengan PT Timah Tbk., apakah PT Timah Tbk., akan merawat dan memperbaiki seperti aslinya sebagai aset sekaligus obyek studi dan obyek wisata sejarah-budaya, ataukah dihibahkan kepada Pemda Kabupaten Bangka Barat untuk dirawat dan dikelola sebagai kantor sekaligus obyek wisata sejarah-budaya, ataukah mungkin dikelola bersama demi identitas, landmark dan prospek pariwisata Kota Muntok yang pernah berjaya sebagai ibu kota pertama di Pulau Bangka.
Paling tidak, Pemda Kabupaten Bangka Barat tetap menghargai properti orang lain, pemda bisa tetap bekerja sama secara harmonis dengan PT Timah Tbk. demi kemajuan Kabupaten Bangka Barat di masa depan dalam bidang wisata sejarah, PT Timah Tbk., bisa menyadari betapa berharganya bangunan tua yang mereka miliki, dan lain-lain.
Alangkah baiknya juga kita berpikir, atau katakanlah berandai-andai, bagaimana prospek bekas gedung Kawilasi Timah tersebut serta bangunan kuno lainnya, selain ‘terpaksa’ bersepakat dengan kalimat “dirobohkan saja”. Jangan sampai malah terjadi “robohnya sejarah kami” akibat kebijakan-kebijakan yang serba tergesa-gesa. Semoga tidak terjadi.