Mohon tunggu...
Gus Noy
Gus Noy Mohon Tunggu... Administrasi - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009, asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari).

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Sepucuk Surat untuk Bangunan Monumental di Muntok, Bangka

27 Juni 2017   20:18 Diperbarui: 29 Juni 2017   13:12 2128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumentasi keluarga gus noy

Anugerah lagi, ‘kan?

Konsistenitas dalam kepekaan (kritis) terhadap sekitar, dan tekun mengolah diri sesuai dengan bidang studi bukanlah sekadar angan-angan jika kemudian mendapat anugerah alias penghargaan, meskipun tidak berbentuk uang dari pemerintah atau instansi terkait. Tidak perlulah terlalu berharap atau berambisi apa-apa, anugerah akan datang pada waktunya, meskipun tidak serta-merta pada saat itu.

Robohnya Sejarah Kami*
Saya amat sangat prihatin ketika membaca sepenggal ucapan seorang anggota DPRD Kabupaten Bangka Barat tersebut mengenai gedung Kawilasi Timah di Muntok pada sebuah harian daerah, Sabtu 16 Juli 2005. “Bangunan gedung tua tak terawat dan seperti tidak bertuan itu, sangat mengganggu keindahan kota. Dari pihak Timah kalau mau ngasih ke pemda ya hibahkan saja, kalau tidak alangkah baiknya dirobohkan saja daripada mengganggu pemandangan. Masak di tengah kawasan perkotaan ada gedung sarang hantu,” ucap beliau.

Sungguh saya amat sangat prihatin. Tapi setelah saya melihat gelar kesarjanaan beliau, saya mahfum. Tetapi pula saya khawatir bahwa pernyataan beliau, sebagai wakil rakyat, menjadi semacam slogan dangkal yang mungkin dapat mempengaruhi sebagian orang untuk menindaklanjuti dengan “dirobohkan saja”. Dampaknya, bisa “merobohkan” bangunan-bangunan kuno yang lain, yang belum benar-benar dicermati kadar kesejarahan dan kebudayaannya. Ah, semoga tidak segampang itu pengaruhnya.

Sesuatu yang tidak terawat memang sangat mengganggu keindahan. Namun, untuk kasus gedung bekas Kawilasi Timah, apakah harus semudah itu mengatakan “sangat mengganggu keindahan kota”, “mengganggu pemadangan”, dan “alangkah baiknya dirobohkan saja” di media massa yang jelas-jelas akan dibaca oleh tidak sedikit masyarakat?

Saya memang bukan budayawan dan sejarawan. Saya hanya tahu seupil tentang sejarah Bangka Belitung, Muntok, dan Timah. Seupil. Tapi, meski seupil, saya berusaha menghargai sejarah sesuai dengan takaran seupil saya. Dalam hal ini adalah bangunan tua. Dan saya, sebagai masyarakat biasa serta bukan siapa-siapa, bermaksud memberi secuil-dua cuil pendapat sesuai dengan status saya sebagai masyarakat biasa.

Gedung Kawilasi Timah, atau awalnya bernama Hoofdbureau Banka Tinwinning Bedriff dan sekaligus pusat pemerintahan (Residen) Bangka dibangun tahun 1816. Bukan gedung hiburan malam atau perjudian. Bangunan bergaya kolonial tersebut, seperti yang ditulis pada kalimat awal oleh koran lokal tadi, merupakan bangunan bertingkat pertama kali di Muntok. Waow!

2004 dokumentasi pribadi
2004 dokumentasi pribadi
2004 dokumentasi pribadi
2004 dokumentasi pribadi
2004 dokumentasi pribadi
2004 dokumentasi pribadi
Kota Muntok berjaya bukanlah karena ketika itu sudah ada kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah beserta kompleks rumah dinasnya. Kota Muntok berjaya bukan karena banyak dibangun hotel-hotel walet sekian tingkat ketika itu. Muntok pun dikenal dunia bukan karena penjara kotanya. Gedung itulah yang menjadi salah satu saksi bisu sejarah Kota Muntok lantaran pertama kali menjadi kantor pusat pemerintahan Bangka, bukan hanya Bangka Barat dan sekitarnya. Belum lagi identitas Muntok sebagai Kota Wisata Sejarah.

Dan timah. Ya, timah. Bahkan timah pernah menjadi salah satu penyumbang devisa terbesar di negara kita. Bukan sahang (lada putih). Bukan kelapa sawit. Apalagi ikan sembilang.

Bangunan bekas Kawilasi Timah, yang sangat berkaitan dengan urusan timah itu merupakan bangunan monumental; bangunan yang mempunyai nilai sejarah (termasuk fungsi bangunan saat itu) dan budaya. Serta, tidak mustahil bahwa bangunan kuno tersebut merupakan bagian dari landmark Kota Muntok, di samping Wisma Ranggam, Pesanggrahan Menumbing, Rumah Mayor, Kantor dan Penjara Syahbandar, Klenteng, Masjid Jami’, pabrik peleburan Timah, dan lain-lain. Obyek wisata pun tidak cuma pantai yang elok atau taman atau kebun yang montok.

Di beberapa kota besar di Indonesia modernisasi bukan berarti robohisasi bangunan-bangunan bersejarah. Bangunan-bangunan bergaya arsitektur kolonial yang memiliki nilai sejarah yang tinggi dirawat, dilestarikan, dan diabadikan dalam buku, misalnya buku Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia, Arsitektur Kolonial di Surabaya, Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Malang, dan lain-lain.

Kajian-kajian sejarah dan budaya terhadap bangunan-bangunan tua sungguh-sungguh dilakukan, apakah pantas menjadi bangunan cagar budaya ataukah tidak alias “silakan dirobohkan saja”. Yang sempat terpikirkan, maaf, apakah Muntok adalah kota paling besar, paling maju, paling modern di Indonesia saat ini sehingga bangunan monumental bekas Kawilasi Timah itu wajar “dirobohkan saja”?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun