Mohon tunggu...
Gus Noy
Gus Noy Mohon Tunggu... Administrasi - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009, asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Berlebaran di Sebuah Kampung Nelayan Manggar, Balikpapan

27 Juni 2017   03:49 Diperbarui: 28 Juni 2017   07:00 927
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berlebaran 1438 H atau 2017 M kali ini ada yang sangat istimewa bagi saya. Istimewanya, baru kali ini saya meluangkan waktu panjang, dari pukul 16.20 s.d. 01.20, untuk berkunjung ke rumah keluarga Alfian Syah–seorang kawan sekaligus “anak didik” saya dalam hal pers mahasiswa dan kepenulisan di Balikpapan.

Lebaran tahun lalu saya tidak bertemu Alfian di rumahnya yang terletak di kawasan pemukiman nelayan Manggar (jaraknya sekitar 25 km dari rumah saya). Hanya bertemu ibunya, dan saya langsung pulang karena ibunya tidak mengenal saya. Dua tahun lalu saya datang, bertemu Alfian dan orangtuanya di rumah mereka yang berada di daerah Batakan tetapi tidak sempat ngobrol dengan orangtuanya.

Lebaran kali ini sudah saya niatkan untuk bisa bertemu Alfian. Seperti yang saya sebutkan “anak didik” tadi karena saya “terpanggil” untuk turut membimbingnya dalam hal jurnalistik dan kepenulisan ketika ia masih menjadi mahasiswa Fakultas Teknik Mesin di sebuah perguruan tinggi di Balikpapan pada 2012. Pada 2014 dengan mantap ia berujar, “Mau menjadi penulis.”

Luar biasa! Selama bertahun-tahun tinggal di Kota Minyak, baru seorang Alfian yang saya temukan dengan cita-cita menjadi penulis. Saya sudah sering menjadi semacam pembimbing kepenulisan di Balikpapan tetapi sama sekali tidak seorang pun yang seberani Alfian. Saya sendiri tidak berani bercita-cita menjadi penulis.

Alfian adalah anak bungsu, dan satu-satunya yang tidak diperbolehkan oleh orangtuanya berkuliah di Yogyakarta seperti kedua kakaknya (seorang alumni Hukum Universitas Islam Indonesia, dan seorang lagi alumni Institut Sains dan Teknologi Akprind). Alfian mulai menyukai tulis-menulis dari kesukaannya membaca buku-buku milik kakak-kakaknya, terutama karya-karya Seno Gumira Ajidarma. Semasa kuliah dan aktif di unit kegiatan mahasiswa, Alfian pernah mengundang saya sebagai pembicara di kampusnya pada 2013 bertema jurnalisme dan sastra, dan mengajak saya terlibat dalam pembimbingan pers kampusnya.

Ada semacam tanggung jawab moral-sosial dalam diri saya untuk terus membina orang muda yang serius menulis sampai kelak ia benar-benar berhasil menjadi penulis. Kebetulan, lulus kuliah, ia langsung diterima bekerja di sebuah media massa lokal karena keseriusannya belajar mengenai jurnalistik. Lalu, genap satu tahun, ia direkrut oleh sebuah organisasi untuk mengelola media organisasi itu. Sebagai orang yang pernah dikenalnya dalam bidang kepenulisan, saya pun harus memberi contoh mengenai keseriusan dalam tulis-menulis dan berani mengikuti lomba atau kurasi karya tulis-menulis, meskipun saya arsitek tulen. Puji Tuhan, saya menjadi pemenang dalam lomba menulis esai se-Kaltim dan Kaltara yang diselenggarakan oleh Kantor Bahasa Kaltim 2016 sehingga turut memotivasi Alfian untuk menekuni pilihan sekaligus cita-citanya.

Kunjungan dalam lebaran kali ini, niat saya terkabulkan. Awalnya ia tidak berada di rumah tetapi kebetulan saya bertemu dengan kakaknya. Biasa, sesama alumni Yogyakarta, obrolan tidak jauh dari masa lalu ketika masih mahasiswa.

Kemudian bapaknya (asal Mandar, Sulawesi Barat, mantan kepala SD di Manggar, dan bekerja di Dinas Pendidikan Balikpapan) ikut ngobrol. Tidak berapa lama disusul kakaknya yang alumni Akprind. Suasana sangat kekeluargaan, apalagi kedua kakaknya pernah membaca buku-buku saya, yang dibeli oleh Alfian. Alfian juga sudah saya beri tahu bahwa adik ipar saya, Ali Akbar, berasal dari Mandar. Di situlah suasana kekeluargaan kami terasa bukan sebagai persahabatan biasa.

Sekitar pukul 19.00 Alfian pulang dari berlebaran di tempat kawannya, lalu saya diajak naik ke lantai dua. Ada kabar duka yang dibawanya, yaitu kawan kami, Endit sang Vespais sejati dan aktivis lingkungan, baru meninggal dunia pada pukul 01.00-an. Saya dan Alfian mengenal Endit juga sebagai seorang “pelawak”. Dan obrolan seterusnya, termasuk santapan makan malam berupa ketupat, buras, dan kari ayam.

“Bang, kita pindah ngobrolnya di dermaga sebelah rumah,” ajaknya sekitar pukul 20.00-an. “Bob sudah ada di bawah.”

Wow! Saya langsung menyambut ajakan itu. Saya belum pernah duduk di dermaga nelayan pada malam hari. Kalau nongkrong di daerah perbaikan (dok) kapal sampai malam hari, saya sudah mengalami beberapa kali sewaktu masih berseragam putih-biru tua di kawasan dermaga kapal milik PT Timah, Air Kantung, Sungailiat, Bangka (jaraknya kira-kira 5 km dari rumah orangtua saya). Di dok kapal itu terdapat lampu yang sangat terang lalu kawan saya, Maruasa Daud Pangaribuan (orangtuanya asli Batak, dan bapaknya karyawan PT Timah), menyebut tempat itu "Sydney", padahal belum pernah ke luar negeri, dan masa itu informasi sangat minim.

Ada juga sebuah kampung nelayan di daerah asal saya, dekat pasar Sungailiat. Kalau tidak keliru, namanya Kampung Buyan yang berasal dari singkatan "Bugis Nelayan" karena memang penduduk aslinya bersuku Bugis. Saya sama sekali belum pernah nongkrong di sana. Adik sepupu saya, Andi Mulato yang asalnya Sragen, Surakarta (Solo), Jawa Tengah, baru 3 tahunan ini menikah dengan gadis dari Kampung Buyan.

Saya pikir, entah kapan bisa nongkrong di rumah keluarga sepupu saya di Buyan, mending nongkrong di tempat yang jelas-nyata saja di depan mata. 

Sementara Bob Hairil, yang baru datang, juga diajak ke sana. Bob masih berstatus mahasiswa, dan menjadi generasi penerus Alfian di unit kegiatan mahasiswa di kampusnya. Bapaknya Bob berasal dari Bima, Nusa Tenggara Barat, dan ibunya dari Makassar, Sulawesi Selatan.

Kami pun beranjak menuju dermaga yang jaraknya hanya sekitar 100 meter dari rumahnya. Dermaga kayu itu berada di belakang rumah seorang nelayan. Tidak lupa membawa kopi, dan kudapan lainnya. Tentunya suasana sangat mengasyikkan di antara perahu nelayan yang sedang parkir dan berlatar lampu-lampu di kejauhan.  

Obrolan belum sampai setengah jam, seorang nelayan yang bagian belakang rumahnya berdinding papan dicat warna-warni dan lantai panggungnya yang menerus samapai lantai panggung dengan dermaga datang. Saya lupa menanyakan namanya tapi Alfian menyebut panggilannya “Paklik” (dilafal khas Balikpapan, “Paklek”). Paklik ini berasal dari Pasuruan, Jawa Timur, dan pernah menjadi nelayan di beberapa daerah di Indonesia.

Kebetulan langit bertabur bintang. Di bawahnya kami duduk di dermaga papan ulin. Tidak ada perahu nelayan yang lewat. Di sebelah barat lampu-lampu rumah terpantul di permukaan air. Di sebelah timur tampak lampu-lampu di pinggang legam jembatan Manggar yang selalu menjadi saksi suatu kematian.

Obrolan semakin asyik karena si Paklik kelahiran 1950-an mengisahkan sebagian perjalanan hidupnya sejak di Pasuruan, 5 tahun menjadi santri di sebuah pesantren milik Nahdlatul Ulama, dan sampai kehidupan di Manggar. Selain itu, obrolan tentang mitos, agama–tentunya sosok para Walisanga, kehidupan nelayan, perikanan, dan kehidupan berbangsa-bernegara zaman terkini.

 Sekitar satu jam kemudian bapaknya Alfian datang. Obrolan semakin hangat dalam udara dingin tepian. Saya lebih sering mendengar obrolan karena saya masih sedang belajar kehidupan lain, yang sama sekali tidak pernah saya alami. Bob yang paling sering diam. 

Sekitar satu setengah jam bapaknya Alfian tidak bertahan karena sudah mengantuk. Datang lagi seorang nelayan, yang juga berasal dari Jawa Timur, yang semula saya kira orang Bugis atau Madura. Biasanya, yang terkenal sebagai nelayan adalah orang Bugis, termasuk di kampung halaman saya. Saya kira orang Madura karena memakai sarung. Ah, saya tertipu oleh penampilan karena rekaman penampilan yang membentuk pola pikir dangkal saya.

Obrolan kami memang panjang, mengasyikkan, dan nyaris melupakan waktu kalau tidak segera diingatkan Bob untuk pulang karena malam sudah larut di sungai Manggar dan rumah Bob di Gunung Guntur (kira-kira 20 km). Kami pun bubar sekitar pukul 01.15.  

Begitulah suasana lebaran 1438 H yang, bagi saya, sangat istimewa. Betapa bersyukurnya saya hidup di Indonesia.

*******

Panggung Renung Balikpapan, 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun