Mohon tunggu...
Gus Noy
Gus Noy Mohon Tunggu... Administrasi - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009, asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Berlebaran di Sebuah Kampung Nelayan Manggar, Balikpapan

27 Juni 2017   03:49 Diperbarui: 28 Juni 2017   07:00 927
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada juga sebuah kampung nelayan di daerah asal saya, dekat pasar Sungailiat. Kalau tidak keliru, namanya Kampung Buyan yang berasal dari singkatan "Bugis Nelayan" karena memang penduduk aslinya bersuku Bugis. Saya sama sekali belum pernah nongkrong di sana. Adik sepupu saya, Andi Mulato yang asalnya Sragen, Surakarta (Solo), Jawa Tengah, baru 3 tahunan ini menikah dengan gadis dari Kampung Buyan.

Saya pikir, entah kapan bisa nongkrong di rumah keluarga sepupu saya di Buyan, mending nongkrong di tempat yang jelas-nyata saja di depan mata. 

Sementara Bob Hairil, yang baru datang, juga diajak ke sana. Bob masih berstatus mahasiswa, dan menjadi generasi penerus Alfian di unit kegiatan mahasiswa di kampusnya. Bapaknya Bob berasal dari Bima, Nusa Tenggara Barat, dan ibunya dari Makassar, Sulawesi Selatan.

Kami pun beranjak menuju dermaga yang jaraknya hanya sekitar 100 meter dari rumahnya. Dermaga kayu itu berada di belakang rumah seorang nelayan. Tidak lupa membawa kopi, dan kudapan lainnya. Tentunya suasana sangat mengasyikkan di antara perahu nelayan yang sedang parkir dan berlatar lampu-lampu di kejauhan.  

Obrolan belum sampai setengah jam, seorang nelayan yang bagian belakang rumahnya berdinding papan dicat warna-warni dan lantai panggungnya yang menerus samapai lantai panggung dengan dermaga datang. Saya lupa menanyakan namanya tapi Alfian menyebut panggilannya “Paklik” (dilafal khas Balikpapan, “Paklek”). Paklik ini berasal dari Pasuruan, Jawa Timur, dan pernah menjadi nelayan di beberapa daerah di Indonesia.

Kebetulan langit bertabur bintang. Di bawahnya kami duduk di dermaga papan ulin. Tidak ada perahu nelayan yang lewat. Di sebelah barat lampu-lampu rumah terpantul di permukaan air. Di sebelah timur tampak lampu-lampu di pinggang legam jembatan Manggar yang selalu menjadi saksi suatu kematian.

Obrolan semakin asyik karena si Paklik kelahiran 1950-an mengisahkan sebagian perjalanan hidupnya sejak di Pasuruan, 5 tahun menjadi santri di sebuah pesantren milik Nahdlatul Ulama, dan sampai kehidupan di Manggar. Selain itu, obrolan tentang mitos, agama–tentunya sosok para Walisanga, kehidupan nelayan, perikanan, dan kehidupan berbangsa-bernegara zaman terkini.

 Sekitar satu jam kemudian bapaknya Alfian datang. Obrolan semakin hangat dalam udara dingin tepian. Saya lebih sering mendengar obrolan karena saya masih sedang belajar kehidupan lain, yang sama sekali tidak pernah saya alami. Bob yang paling sering diam. 

Sekitar satu setengah jam bapaknya Alfian tidak bertahan karena sudah mengantuk. Datang lagi seorang nelayan, yang juga berasal dari Jawa Timur, yang semula saya kira orang Bugis atau Madura. Biasanya, yang terkenal sebagai nelayan adalah orang Bugis, termasuk di kampung halaman saya. Saya kira orang Madura karena memakai sarung. Ah, saya tertipu oleh penampilan karena rekaman penampilan yang membentuk pola pikir dangkal saya.

Obrolan kami memang panjang, mengasyikkan, dan nyaris melupakan waktu kalau tidak segera diingatkan Bob untuk pulang karena malam sudah larut di sungai Manggar dan rumah Bob di Gunung Guntur (kira-kira 20 km). Kami pun bubar sekitar pukul 01.15.  

Begitulah suasana lebaran 1438 H yang, bagi saya, sangat istimewa. Betapa bersyukurnya saya hidup di Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun