Hari raya, bagi saya, merupakan saat yang tepat untuk lebih mengenal tetangga, baik ketika di kampung halaman maupun kini berdomisili di perantauan, selain aktif dalam kegiatan RT setempat. Apalagi, ya, kalau lingkungan sekitar rumah dihuni oleh warga dari beragam agama dan suku.
Saya tidak pernah diimbau atau disarankan, baik oleh orangtua maupun guru-guru saya, untuk berkunjung ke rumah tetangga pada saat hari raya. Saya pun tidak pernah diberi nasihat mengenai manfaat berkunjung ke rumah tetangga pada saat tetangga berhari raya.
Karena berlatar kampung yang terdiri dari tiga agama, dengan Idul Fitri-Idul Adha, Natal-Tahun Baru, dan Imlek, sejak kecil saya sudah terbiasa, dan terbudaya untuk berkunjung ke rumah tetangga yang berhari raya. Setiap hari raya saya selalu bersemangat untuk berkunjung ke rumah tetangga yang merayakannya, yang tentunya saya dului dengan berkunjung ke sanak keluarga.
Karena pula suka ngobrol sampai lebih 30 menit dengan satu tetangga ketika hari raya, tidak jarang saya merasa waktu selalu kurang untuk bisa mengunjungi satu per satu rumah tetangga. Saya menikmati setiap kunjungan itu, ditambah kalau ada saudara, kawan, atau rekan dari tetangga saya yang kebetulan sedang berkunjung.
Setiap berkunjung dari rumah ke rumah di RT kami pada saat hari raya di perantauan, saya selalu melihat penyambutan dengan wajah-wajah ramah dan semarak senyuman. Padahal saya tidak membawa bingkisan, malah kemungkinan besar saya ikut menikmati santapan yang tersaji, ditambah waktu yang lumayan lama (lebih 30 menit).
Kalau pada hari biasa, berkunjung ke rumah para tetangga untuk waktu sampai lebih 30 menit, tentu saja, bisa menimbulkan pertanyaan. Ada apa, ya? Apalagi kalau tidak memiliki hubungan tertentu, bukan?
Sementara ketika berkunjung selama masa hari raya, pertanyaan “ada apa, ya” tidak akan pernah ada apalagi sampai merepotkan diri dengan curiga macam-macam. Kunjungan, sambutan, senyuman, dan seterusnya terungkap apa adanya, bukan ada apanya. Sangat menyenangkan, pokoknya.
Dan, dengan bertambahnya usia, wawasan mengenai pergaulan sosial yang nyata, dan kenyataan hidup di Indonesia, saya semakin menyadari alias “menginjak bumi”, bahwa dalam keberagaman keyakinan masyarakat terdekat, hari raya merupakan kesempatan untuk semakin merekatkan hubungan antarmanusia, dan antartetangga. Manusia sebagai makhluk sosial. Manusia dan sesama manusia membentuk suatu masyarakat yang beraneka keunikan.
Manusia-tetangga dengan aneka latar kehidupan. Manusia-tetangga beraneka kebahagiaan ketika hari raya. Manusia-tetangga berkisah perjalanan hidup yang berbeda-beda. Kunjungan yang tidak rumit, obrolan sewajarnya, dibumbui senyum dan canda pada hari raya pun mengembalikan rasa kebersamaan–meski beragam keyakinan–sebagai sesama warga setempat.
Ya, beginilah yang saya sadari dan syukuri atas takdir saya hidup dalam keberagaman. Keberagaman pun merupakan anugerah yang mengagumkan dalam hidup saya. Dan dengan keberagaman saya selalu mendapat banyak bahan untuk saya tuliskan, baik fiksi maupun non-fiksi.
*******