Pada 15 Mei 2017 aku membaca tulisan yang dipajang di beranda Fb Penulis Hanna Fransisca dari kiriman Muhammad Hamizan dari cuplikan berita berjudul “Soal Kesenjangan Si Kaya & Si Miskin, JK Waswas Luar Biasa”.
Isi cuplikan beritanya begini.
Wapres JK mengingatkan kesenjangan yang ada di Indonesia sudah cukup membahayakan. Sebab, ada perbedaan agama antara si kaya dan si miskin. Hal itu disampaikan JK saat menutup sidang tanwir Muhammadiyah di Ambon, kemarin.
Menurut JK, dengan kondisi ini, kesenjangan di Indonesia lebih berbahaya dibanding di negara lain. Misalnya di Thailand dan Filipina. “Di sana, baik yang kaya maupun miskin memiliki agama yang sama. Sementara di Indonesia yang kaya dan miskin berbeda agama,” ujar JK.
Di Indonesia, kata JK, sebagian besar orang kaya adalah warga keturunan Tionghoa yang beragama Konghuchu maupun Kristen.
(dan seterusnya…)
Sebelumnya Muhammad Hamizan menuliskan, “Yg terhormat Pak JK, yng paling miskin di Indonesia itu org Papua dan bukan muslim. Sedangkan Propinsi termiskin adalah NTT, mayoritas non-muslim pula.”
Lalu Penulis Hanna Fransisca yang tingal di Kalimantan Barat bersaksi, “Aku sejak kecil dibesarkan dalam keluarga yang miskin. Kami sekeluarga hanya mampu sewa 1 kamar di rumah tua yang hampir ambruk. Tidak ada bantal, tidak guling, tidak ada selimut. Aku ingat persis, hanya punya dua gaun usang, sandal jepit kebesaran yang bisa dipakai secara bergantian, tipis dan bolong pula bagian tumitnya. Di kamar hanya ada tikar pandan yang sobek sana-sini, hanya ada lampu minyak tanah. Tidak usah cerita soal pergi ke sekolah, cerita beras di dapur saja harus utang dulu ke warung, pinjam sama tetangga. Tentu tak hanya keluarga kami yang serba kekurangan. Masih banyak lagi saudara yang lain yang jauh lebih terpuruk lagi.”
Mau-tidak mau pikiranku mundur ke ingatan yang pernah kualami dan saksikan pada masa lampau berkaitan dengan stereotipe mengenai orang Tionghoa-Kong Hucu dengan status ekonomi begitu, meskipun sebagian kecil sudah kuabadikan dalam buku Belajar Peta Indonesia (2016). Buku itu sudah ada di Perpustakaan Nasional R.I. Ada dua eksemplar, Pak, di situ. Buku itu aku buat dan terbitkan dalam kerangka mencatat ingatan berbangsa-bernegara sejak dari kampung, Pak, meskipun aku bukanlah siapa-siapa dibanding Bapak.
Aku dilahirkan sampai puber di Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan bersekolah menengah atas Jurusan A1/Fisika sampai lulus kuliah Jurusan Arsitektur di Yogyakarta. Nama Sungailiat memang kalah pamor dibanding Pangkapinang dan Muntok (tempat peleburan bijih timah terbesar sedunia pada masa jaya timah). Sungailiat hanya kota kecil di timur Pulau Bangka dan di utara Pangkalpinang. Apalagi Kampung Sri Pemandang Atas, Pak.
Pak JK yang terhomat secara regional-nasional-internasional-global,
aku pun sepakat banget pada tulisan Hanna Fransisca, “Aku lebih meyakini etnis apa pun, agama apapun, ada yang miskin ada yang kaya raya macam Pak JK, ada yang baik dan ada yang jahat.”
Ketika aku menikmati masa bersenang-senang di Kampung Sri Pemandang Atas Sungailiat, tidak semua kawan Tionghoa-ku di Bangka hidup seperti stereotipe yang kebanyakan orang Indonesia. Rumah kami dibangun oleh orang Tionghoa, dari pembantu (kenek/helper) sampai mandor (mandornya/pemborongnya bernama Min Ho).
Dulu keluarga kami pernah memiliki asisten rumah tangga beretnis Tionghoa dan beragama Kong Hucu. Kalau tidak keliru, anaknya dua. Bapak bisa bayangkan, mengapa ada orang Tionghoa menjadi asisten rumah tangga di rumah kami, padahal orangtuaku bukanlah keluarga kaya raya.
Bapakku, Slamet Sudharto, yang kelahiran Madiun 1929, mantan Tentara Pelajar wilayah Malang dengan bersenjatakan senapan mesin (1945-1950, termasuk bagian dari Mobrig, terlibat perang di Peristiwa Surabaya, atau Bapak bisa cari info pada keluarga kami di Sambirejo, Madiun), dan menjadi guru swasta di Sungailiat sejak pertengahan 1950 juga mendidik aku di rumah mengenai Indonesia, Pak.
Guru, Pak. Guru SMP (pagi-siang) dan STM (sore-malam). Guru juga di rumah ketika aku harus belajar mengenai Indonesia karena bapak seorang veteran perang, meski sama sekali tidak pernah diakui negara Indonesia tercinta ini, apalagi menerima gaji pensiun tentara, Pak. Lingkungan rumah dan sekolah sangat mendukung belajar ke-Indonesia-anku, Pak, tanpa perlu repot mencari buku-buku yang masih langka pada waktu itu.
Bapakku juga berkenalan baik dengan setiap kepala aparat di Sungailiat. Zaman Pak Duri (ayahnya Rafika Duri), Pak Saylan, dan seterusnya, karena mantan veteran selalu dekat dengan aparat keamanan sebagai satu keluarga yang berbakti kepada Indonesia. Dari bapak aku belajar mencintai Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika ini, Pak.
Ibuku kelahiran Karanganyar-Solo pada 1939. Seorang mantan karyawan Rumah Sakit Unit Penambangan Timah Bangka. Waktu masih aktif disitu, setiap bulan mendapat jatah sembako lengkap, terhitung dari semua anggota keluarga. Semakin banyak anak, semakin banyak jatah sembakonya. Timah, pada masa itu, Pak, masih dalam masa jaya dengan sebutan “emas putih”, yang pernah menjadi penyumbang devisa nomor dua setelah minyak bumi. Ya, soal makan-minum dan lain-lain, masa kecilku lebih beruntung daripada Hanna Fransisca.
Orangtuaku bisa membayar asisten rumah tangga beretnis Tionghoa karena tidak bermasalah dengan keberadaan sembako bulanan, di samping mengangkat beberapa anak (semuanya beragama Islam) yang sedang bersekolah karena latar ekonomi keluarga mereka yang sangat perlu dibantu (Puji Tuhan, mereka telah hidup mapan secara ekonomi, Pak, karena mereka juga pekerja keras dan Allah Tuhan mereka sangat menyayangi mereka).
Aku pun bergaul dengan anak kampung yang tidak mengenal permainan anak orang kaya di kota. Di kampung halamanku dulu ada seorang penjual tahu dari etnis Tionghoa-Kong Hucu. Belum ada penjual tahu dari etnis lainnya. Sudah tua, berkaus putih polos yang sudah mirip saringan tahu, dan naik sepeda onthel, Pak. Sebelum giliran aku, kakakku sering bertugas menunggu kedatangannya di depan rumah pada pagi hari sekitar pukul 06.00.
Ada juga penjual ikan keliling sekitar pukul 09.00. Satu ini paling ditunggu ibu-ibu kampung kami karena bisa utang, Pak. Paling laris kalau sudah, meski belum tentu uang langsung ngumpul.
Siangnya, sekitar pukul 14.00 ada tukang cukur keliling naik sepeda Pak. Orang Tionghoa-Kong Hucu. Dua orang lagi. Seorang yang aku dan kawan-kawan suka adalah yang selalu terdengar di ujung jalan, “Gunting rambut, tiauw siput, kena kentut!” Berulang-ulang diucapkan denga irama khas. Dan dia pun suka bercanda ketika sedang mencukur aku atau kawan-kawanku.
Kawanku kecilku, namanya Tong Sen, membantu ibunya berjualan kue. Kue-kue dititipkan di warung-warung pada pagi hari ketika dia berangkat sekolah naik sepeda. Sore, sekitar pukul 17.00 dia akan mengambil lagi di warung-warung. Kalau ada sisa, aku dan kawan-kawan kampung diberi kue itu.
Dan, tidak jauh dari kampung kami, dulu ada orang gila satu-satunya, Tionghoa pula, Pak. Namanya Akiun. Gaya berjalan seperti aparat dengan kayu sebagai tongkat atau senjata. Konon (gosip orang kampung), Akiun gila karena mengencingi sebuah kuburan tua yang sudah tidak jelas. Orang kampung kami tidak seorang pun gila, Pak. Kami diajarkan tetua kampung, kalau mau pipis di alam terbuka (kebun atau hutan), harus bilang, “Numpang kencing, Tuk (Tuk/Atuk=kakek).”
Di sekolahku dulu, Pak, ada kawan sekolah (Etnis Tionghoa) yang berseragam sekolah lusuh, bahkan berhenti sekolah (Kelas 1 SMP) karena berasal dari keluarga miskin. Namanya Tet Khiong. Kecil-kurus. Kelihatan sekali kurang gizi. Ayahnya pernah jadi nelayan tapi kemudian lumpuh karena terkena sengatan ikan kecos (ikan pari kecil yang bertanduk dekat ekor). Dia berlima atau enam saudara, dan dia sulung.
Penjaga bahkan pesuruh SMP kami bernama Apuk adalah orang Tionghoa. Apuk tidak pernah membantah ketika disuruh apa pun oleh kepala sekolah dan guru. Disuruh beli sayur-mayur untuk seorang guru Melayu pun, Apuk berangkat ke pasar berjarak 1,5 km naik sepeda genjot. Tidak jarang Apuk ‘kerjain’ kawan-kawanku, baik kawan Tionghoa, Melayu, Batak, Flores, dan Jawa. Tidak pernah ada prasangka sosial, Pak. Juga sekolah tempat bapakku mengajar di STM Sungailiat adalah orang Tionghoa.
Ya, Bapak JK bisa bayangkan, bagaimana seandainya sekolah Bapak dulu ada penjaga bahkan pesuruh sekolah beretnis Tionghoa, bahkan seandainya dulu keluarga Bapak memiliki asisten rumah tangga beretnis Tionghoa?
Bapak pun pasti bisa membayangkan, bagaimana masa kecilku dibentuk dalam lingkungan sosial yang menyenangkan tanpa terkontaminasi prasangka sosial dari stereotipe terhadap orang Tionghoa-Kong Hucu.
Ketahuilah, Pak, tidak sedikit buruh kasar, dari pencetak batubata yang berpanas-panas hingga pramuniaga di kawasan pertokoan Tionghoa adalah orang Tionghoa sendiri. Sebagian rumah mereka masih semi permanen pula, Pak.
Dulu, ketika aku dan kawan-kawan kampung sedang musim main pangkak (adu buah karet), aku sering mencari buah karet di dekat tempat tukang kayu yang beretnis Tionghoa. Makan siang mereka, dengan mataku sendiri kulihat, berupa nasi berlauk ikan asin kecil, Pak. Bukan satu-dua kali kulihat, Pak. Ada juga kawan Tionghoa-ku, cuma beda kampung, nyaris saban hari makan bulgur, Pak. Apa itu bulgur, Bapak pasti tahu.
Ketahuilah, Pak, generasi awal etnis Tionghoa di Bangka bukanlah berkelas pedagang apalagi pengusaha-pebisnis kelas kakap-hiu-paus. Bukan pula kelas terpelajar dengan kemampuan intelektual serba luar biasa, Pak. Rasa senasib orang Melayu-Tionghoa Bangka sebelum 1900-an terbentuk karena mayoritas orang Tionghoa di Bangka adalah buruh/kuli/pekerja kasar, baik di perkebunan maupun pembuatan bangunan.
Buruh Tionghoa beberapa kali memberontak terhadap Kolonial Belanda. Rasa senasib itulah yang kemudian menyatukan Melayu-Bangka dan Tionghoa dalam persaudaraan nasional melawan Kolonial Belanda. Rumah Mayor Chung A Thiam (orang Tionghoa-Kong Hucu) di Muntok, Bangka Barat, menjadi salah satu saksi sejarah, dimana Belanda menjadikan Chung A Thiam sebagai seorang mayor tentara Belanda untuk meredam pemberontakan orang Tionghoa.
Sejarah itu tertulis dalam buku sejarah Babel, Pak. Aku pernah membacanya di Perpustakaan Daerah Sungailiat. Mungkin ada di Perpustakaan Nasional R.I.
Sekian tahun silam pun, sekitar 1998, ada segelintir pendatang hendak menghasut orang Melayu-Bangka dengan kesesatan nasional itu tetapi tidak berhasil menjadi peristiwa genting, Pak. Sebab, kesatuan masyarakat Melayu-Bangka dan Tionghoa-Bangka sudah terbentuk lebih satu abad.
Yang tidak kalah kesatuannya adalah pernikahan campuran antara Melayu dan Tionghoa. Biasanya, orang Tionghoa-Kong Hucu akan pindah agama (mualaf). Salah seorang mantri sunat yang terkenal adalah Om Nasuwan (kebetulan orang Kampung Sri Pemandang Atas), yang juga menyunat aku (libur kenaikan Kelas 6 SD), Pak. Pada 2012 Om Nasuwan pernah memamerkan “barang bukti” milik seorang mualaf yang sudah dewasa. Om Nasuwan tertawa ngakak, Pak.
Pak JK, orang Babel pun paham, untuk bisa makan, haruslah bekerja keras. Beras bukanlah hasil produk pertanian di tanah Babel yang memiliki kadar asam tinggi. Persawahan baru dirintis pasca-2000. Ada pun ladang padi milik keluarga Melayu-Bangka, dan untuk konsumsi keluarga sendiri.
Sedangkan orang Tionghoa di Bangka pada zaman itu tidak memiliki sawah, Pak. Bagaimana bisa membeli beras? Sebagian orang Tionghoa bisa membeli beras persis seperti yang dikatakan oleh Hanna Fransisca, “… cerita beras di dapur saja harus utang dulu ke warung, pinjam sama tetangga.” Seperti Tet Khiong, atau ada lagi yang hanya menyantap bulgur, Pak.
Kawan SMP-ku, Jat Nen, orang Tionghoa-Kong Hucu di Jalan Laut, adalah pekebun sayur biasa, Pak. Ada juga tetanggaku, keluarga Tionghoa bernama Aciang (Kampung Batu), pekebun sayur biasa, yang aku tahu karena aku sering mancing di area kebun sayur mereka. Anak-anak mereka tidak ada yang bergelar sarjana semacam aku ini, Pak. Jat Nen dan keluarga Aciang memang rajin menggarap kebun sayur, Pak.
Ada lagi kawan SD-ku, namanya Cong Yang, pada 2016 aku datangi ketika dia sedang berjualan ikan di pinggir jalan dekat Kantor Polres Sungailiat. Tidak ada dinding dan atap. Hanya berupa meja panjang. Aku mendatanginya untuk kembali mengingatkan padanya bahwa kami pernah satu kelas ketika SD, Pak. Mungkin dia lupa tetapi aku sangat ingat, apalagi rumah orangtuanya (rumah papan lho, Pak) dekat SD kami, dan ibunya berjualan jajanan di dekat sekolah kami.
Pak JK pasti tahu mantan gubernur Babel bernama Eko Maulana Ali yang pernah mengalahkan Ahok di Pilkada Babel 2007, ‘kan? Pak Eko (mantan murid bapakku di STM Sungailiat) adalah anak angkat orang Tionghoa-Kong Hucu, Pak. Pak Eko dulu disekolahkan oleh keluarga Tionghoa-Kong Hucu, yang hanya memiliki satu anak perempuan. Ayahnya Pak Eko sangat loyal (rajin, jujur, tidak banyak tingkah, dan lain-lain)pada majikannya sehingga anaknya (Pak Eko) diangkat sebagai anak, Pak.
Aku tahu kisah nyata itu dari orangtuaku, Pak. Ibuku masih hidup, Bapak bisa bertanya langsung mengenai Pak Eko, termasuk mantan asisten rumah tangga orangtuaku.
Lucunya, lawan Pak Eko di Pilkada Babel 2007 bernama Ahok yang Tionghoa-Kristen itu malah anak angkat orang Melayu-Belitung, Pak. Kenyataan Babel memang lucu sekaligus guyub-kekeluargaan-kebangsaan, ‘kan, Pak?
Duh, Pak JK, kasihan lho, masih banyak orang Tionghoa yang berekonomi minimalis, dan tidak saja di Bangka dan Belitung. Meski minimalis, mereka tidak lagi memberontak atau menghidupi kedengkian terhadap sesama warga negara Indonesia karena mereka sangat bangga jadi warga negara Indonesia.
Aku masih bisa melihat orang-orang Tionghoa-Kong Hucu yang bekerja keras sewaktu mudik 2016 karena bapakku meninggal. Selain Jat Nen, atau Cong Yang, ada juga penjual susu kedelai (thefu sui) dengan sebuah gerobak di Pasar Mambo Sungailiat pada malam hari, Pak. Susu kedelai buatannya enak banget lho.
Dan kalau sebagian orang Tionghoa-Kong Hucu kaya raya, ya, tidak berbedalah dengan etnis-etnis lainnya dan penganut semua agama di Indonesia. Semua pasti karena bekerja keras. Bukankah Tuhan memiliki hak preogatif mutlak untuk memberi rezeki kepada semua manusia, baik beragama maupun tidak beragama (ateis), bahkan para keluarga koruptor sekalipun?
Pak JK yang baik,
aku mencintai Indonesia dengan segala suku bangsa yang ada. Keluarga besar kami sudah bercampur etnis. Jawa, Melayu-Bangka, Tionghoa-Bangka, Palembang, Minang, Bugis, Mandar, Madura, dan lain-lain. Mayoritas keluarga besar kami beragama Islam, Pak, dan mayoritas tetanggaku di Bangka beragama Islam. Aku bersekolah menengah atas dan kuliah di Yogyakarta, dan kawan-kawanku juga berasal dari aneka suku. Aku kini tinggal di Kalimantan Timur, dan bergaul dengan aneka suku bangsa, Pak. Bahkan keluarga istriku adalah campuran (Tionghoa, Dayak, Bugis, dan Filipina). Aku sangat bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas realitas takdirku ini. Aku bangga jadi orang Indonesia, Pak, meskipun tidak mampu bertamasya keliling Indonesia.
Doaku, Bapak JK selalu sehat sehingga bisa berpiknik selama 6 bulan di Bangka. Jangan lupa singgah di warung kopi Co dekat tugu Adipura Sungailiat. Asyik banget lho, Pak. Tapi yang terpenting, demi NKRI yang heterogen dalam arti sebenar-benarnya, Pak.
Terima kasih, Pak JK. Salam damai sejahtera selalu dari aku.
*******
15 Mei 2017
(terlambat pajang karena jaringan Telkom sedang bermasalah)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H