Sekian tahun silam pun, sekitar 1998, ada segelintir pendatang hendak menghasut orang Melayu-Bangka dengan kesesatan nasional itu tetapi tidak berhasil menjadi peristiwa genting, Pak. Sebab, kesatuan masyarakat Melayu-Bangka dan Tionghoa-Bangka sudah terbentuk lebih satu abad.
Yang tidak kalah kesatuannya adalah pernikahan campuran antara Melayu dan Tionghoa. Biasanya, orang Tionghoa-Kong Hucu akan pindah agama (mualaf). Salah seorang mantri sunat yang terkenal adalah Om Nasuwan (kebetulan orang Kampung Sri Pemandang Atas), yang juga menyunat aku (libur kenaikan Kelas 6 SD), Pak. Pada 2012 Om Nasuwan pernah memamerkan “barang bukti” milik seorang mualaf yang sudah dewasa. Om Nasuwan tertawa ngakak, Pak.
Pak JK, orang Babel pun paham, untuk bisa makan, haruslah bekerja keras. Beras bukanlah hasil produk pertanian di tanah Babel yang memiliki kadar asam tinggi. Persawahan baru dirintis pasca-2000. Ada pun ladang padi milik keluarga Melayu-Bangka, dan untuk konsumsi keluarga sendiri.
Sedangkan orang Tionghoa di Bangka pada zaman itu tidak memiliki sawah, Pak. Bagaimana bisa membeli beras? Sebagian orang Tionghoa bisa membeli beras persis seperti yang dikatakan oleh Hanna Fransisca, “… cerita beras di dapur saja harus utang dulu ke warung, pinjam sama tetangga.” Seperti Tet Khiong, atau ada lagi yang hanya menyantap bulgur, Pak.
Kawan SMP-ku, Jat Nen, orang Tionghoa-Kong Hucu di Jalan Laut, adalah pekebun sayur biasa, Pak. Ada juga tetanggaku, keluarga Tionghoa bernama Aciang (Kampung Batu), pekebun sayur biasa, yang aku tahu karena aku sering mancing di area kebun sayur mereka. Anak-anak mereka tidak ada yang bergelar sarjana semacam aku ini, Pak. Jat Nen dan keluarga Aciang memang rajin menggarap kebun sayur, Pak.
Ada lagi kawan SD-ku, namanya Cong Yang, pada 2016 aku datangi ketika dia sedang berjualan ikan di pinggir jalan dekat Kantor Polres Sungailiat. Tidak ada dinding dan atap. Hanya berupa meja panjang. Aku mendatanginya untuk kembali mengingatkan padanya bahwa kami pernah satu kelas ketika SD, Pak. Mungkin dia lupa tetapi aku sangat ingat, apalagi rumah orangtuanya (rumah papan lho, Pak) dekat SD kami, dan ibunya berjualan jajanan di dekat sekolah kami.
Pak JK pasti tahu mantan gubernur Babel bernama Eko Maulana Ali yang pernah mengalahkan Ahok di Pilkada Babel 2007, ‘kan? Pak Eko (mantan murid bapakku di STM Sungailiat) adalah anak angkat orang Tionghoa-Kong Hucu, Pak. Pak Eko dulu disekolahkan oleh keluarga Tionghoa-Kong Hucu, yang hanya memiliki satu anak perempuan. Ayahnya Pak Eko sangat loyal (rajin, jujur, tidak banyak tingkah, dan lain-lain)pada majikannya sehingga anaknya (Pak Eko) diangkat sebagai anak, Pak.
Aku tahu kisah nyata itu dari orangtuaku, Pak. Ibuku masih hidup, Bapak bisa bertanya langsung mengenai Pak Eko, termasuk mantan asisten rumah tangga orangtuaku.
Lucunya, lawan Pak Eko di Pilkada Babel 2007 bernama Ahok yang Tionghoa-Kristen itu malah anak angkat orang Melayu-Belitung, Pak. Kenyataan Babel memang lucu sekaligus guyub-kekeluargaan-kebangsaan, ‘kan, Pak?
Duh, Pak JK, kasihan lho, masih banyak orang Tionghoa yang berekonomi minimalis, dan tidak saja di Bangka dan Belitung. Meski minimalis, mereka tidak lagi memberontak atau menghidupi kedengkian terhadap sesama warga negara Indonesia karena mereka sangat bangga jadi warga negara Indonesia.
Aku masih bisa melihat orang-orang Tionghoa-Kong Hucu yang bekerja keras sewaktu mudik 2016 karena bapakku meninggal. Selain Jat Nen, atau Cong Yang, ada juga penjual susu kedelai (thefu sui) dengan sebuah gerobak di Pasar Mambo Sungailiat pada malam hari, Pak. Susu kedelai buatannya enak banget lho.