Mohon tunggu...
Gus Noy
Gus Noy Mohon Tunggu... Administrasi - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009, asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Arsitek yang Menulis

4 Maret 2017   18:05 Diperbarui: 5 Maret 2017   10:00 561
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Daya baca ini, pertama, adalah kemampuan memahami apa yang dibaca. Kalau pembacanya hanya dari kalangan arsitek, tentunya, bisa dipahami. Bagaimana dengan kalangan pembaca di luar kalangan arsitek? Apakah kalangan di luar arsitek bisa memahami tulisan seorang arsitek, apalagi kalau menggunakan kosakata-istilah arsitektur yang masih murni asing, atau dengan gaya bahasa yang tidak popular?

Kedua, adalah menerapkan pemahaman itu bagi si pembaca sendiri. Tentunya, dengan itikad baik sekaligus harapan si penulis yang arsitek, tulisannya bisa bermanfaat bagi kehidupan pembaca, ‘kan?

Ketiga, menyampaikan kembali atau menularkan pemahaman dari apa yang dibaca. Memang, satu ini tergantung pada kemampuan berkomunikasi si pembaca. Tetapi, paling tidak, dengan adanya “penularan” (impartasi) pemahaman, manfaat sebuah tulisan bisa menjangkau lebih dari satu pembaca.

Lagi, saya cukupkan soal minat dan daya baca. Tidak perlu “daya jangkau” tulisan karena bisa berkaitan dengan sosialisasi (publisitas), aturan-kebijakan, dan seterusnya. Dari minat dan daya baca masyarakat umum ini saja, saya kira, justru lebih serius daripada kemampuan tulis-menulis si arsitek.

Lebih serius? Iya. Arsitek yang menulis, paling tidak, harus memiliki “jurus” agar tulisannya tidak saja “terbaca” (tulisan sampai di mata dan otak) tetapi juga “tersuka” (sampai di hati) dan “terterapkan” (sampai di mulut, tangan, kaki, dan seterusnya. Itu yang lebih serius, ‘kan?

Oleh karenanya, ketika seorang arsitek menulis, apakah tulisannya bisa diminati bahkan didayagunakan (terealisasi), selain gambar (perancangan) yang didampingi oleh konsep yang tertulis, tentu saja, kembali kepada si arsitek itu sendiri. Sebab, pendidikan arsitektur, sebenarnya, tidaklah 100% berisi gambar perancangan dan hal-hal teknis mengenai bangunan atau kawasan, melainkan pula mengenai budaya, yang sebagian dipelajari dalam bentuk tertulis, dan ujiannya pun tertulis–bukan melulu tergambar.

*******

Panggung Renung, 4 Maret 2017

*) Tulisan ini kelanjutan dari “Arsitek Bercita-cita Penulis”.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun