Sepakat atau tidak pada tulisan saya ini, bahasa tulisan pun merupakan suatu manifestasi, bahkan pertanggungjawaban atas integritas-kualitas seorang arsitek. Kalau melalui bahasa gambar seorang arsitek bisa berkelit dengan jawaban “maksudku bukan begitu”, atau “aku nggak pernah mengatakan itu”, berbeda lagi ketika melalui sebuah tulisan.
Tulisan merupakan sebuah manifestasi atas kadar intelektual si penulis, yang dalam hal ini adalah arsitek. Keberaniannya mengungkapkan hal-hal arsitektural melalui gagasan (konsep) atau ulasan tertulis berupa esai atau opini mengenai suatu bangunan dan lain-lain, bagi saya, sudah patut diapresiasi. Artinya, si arsitek siap bertanggung jawab dengan pemikirannya secara verbal.
Tetapi, meskipun melalui bahasa tulisan bisa terbaca dan terpahami, tetap saja seorang arsitek bisa berkelit dengan jawaban “maksudku bukan begitu”. Ya, bahasa tulisan memang masih memberi tafsiran lain, seperti juga ayat-ayat suci dalam kitab suci. Nah, apalagi kalau hanya tulisan seorang arsitek, ‘kan?
Tidak perlu repot soal perkelitan atau ketidaksucian-ketidakjujuran. Cukup terfokus pada tulisan seorang arsitek mengenai gagasan atau ulasan terhadap suatu perancangan, bangunan jadi, tata bangunan, kawasan, dan hal-hal yang berkaitan dengan arsitektur.
Menurut saya, sangat penting seorang arsitek bisa menerjemahkan pemikirannya melalui tulisan. Hal ini karena, pertama, seperti pernyataan Eko Budihardjo, “… tanpa adanya tulisan yang mengungkap keberhasilan maupun kekurang-berhasilan karya arsitektur, para arsitek muda generasi mendatang tidak dapat belajar banyak dari para seniornya. Selain itu, sang perancang pun tidak memperoleh umpan balik yang dapat didayagunakan agar perancangan karya arsitektur berikutnya menjadi lebih baik.”
Kedua, di luar kalangan arsitek, yaitu masyarakat umum, bisa mendapat pengetahuan mengenai arsitektur, entah arsitektur yang bermutu maupun yang sama sekali rusak mutunya, melalui persepktif arsitek. Melalui tulisan, rekaman pemikiran bisa menjadi pembelajaran bagi masyarakat umum.
Ketiga, arsitektur bukanlah suatu bidang yang ekslusif, bahkan suci-sakral, sehingga tidak boleh diketahui masyarakat umum. Tanpa perlu repot berteori, toh, masyarakat umum sudah terbiasa dengan bangunan, tata bangunan, atau kawasan, yang berada di sekitarnya. Bukankah teori-toeir arsitektur pun tidak terlepas dari adat-kebiasaan-budaya masyarakat umum?
Saya cukupkan dengan ketiga hal penting tersebut. Hal lainnya, barangkali bisa terkait, adalah minat baca masyarakat, baik masyarakat arsitek maupun masyarakat umum.
Beberapa media menuliskan bahwa minat baca bangsa Indonesia sangat rendah. Dari data UNESCO pada 2012 tersebut angka 0,001 persen orang Indonesia memiliki minat baca. Sementara data dari studi "Most Littered Nation In the World" yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca.
Barangkali data-data mengenai minat baca dapat dijadikan sebagai tantangan bagi arsitek untuk menulis. Apakah tulisan seorang arsitek bisa diminati oleh 0,001 persen itu, dan apakah bisa menarik minat di luar angka tersebut.
Itu baru mengenai minat baca (membaca). Bagaimana dengan daya baca atau kemampuan pembaca memahami bacaan?