Mohon tunggu...
Gus Noy
Gus Noy Mohon Tunggu... Administrasi - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009, asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Arsitek Bercita-cita Penulis

4 Maret 2017   13:03 Diperbarui: 4 Maret 2017   13:26 516
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada 3 Maret 2017 saya mendapat kabar dari seorang rekan sejawat di Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Cabang Balikpapan, beberapa arsitek di Balikpapan bercita-cita menjadi penulis. Terus terang, saya terkejut tetapi tidak lantas menanyakan alasan dari cita-cita itu.

Betapa tidak terkejut. Sejak 2009 saya pindah ke Balikpapan sekaligus bergabung dengan mereka di bawah bendera IAI, baru 2017, atau 8 tahun kemudian, saya ketahui. Padahal seorang rekan arsitek lainnya, saya ketahui, rajin mengirimkan tulisannya mengenai arsitektur di media setempat (Kaltim), selalu dimuat, bahkan sudah mendapat halaman khusus.

Saya tidak mengetahui alasan yang pasti, mengapa sebagian rekan arsitek di Balikpapan bercita-cita menjadi penulis. Seiring dengan “mengapa” adalah “sejak kapan”.

Sementara saya sendiri, kepada rekan pemberi kabar tadi, menyampaikan bahwa saya tidak pernah bercita-cita menjadi penulis, meskipun hal semacam ini sudah sekian kali saya sampaikan. Bercita-cita menjadi arsitek pun, sebenarnya, tidak pernah terlintas di benak saya. Hanya saja, kebetulan, saya telanjur mengambil Jurusan (kini Program Studi) Arsitektur.

Beberapa Tokoh Arsitek yang Penulis

Tokoh arsitek yang sekaligus penulis, yang pertama kali saya ketahui, adalah Mangunwijaya. Bukunya yang kemudian menjadi semacam kitab suci bagi para arsitek Indonesia adalah “Wastucitra”. Di samping itu, tentunya, buku “Fisika Bangunan”, yang pernah saya miliki tetapi dipinjam tanpa pernah kembali. Selain itu, buku-buku di luar arsitektur.

Di almamater saya, UAJY, beberapa dosen juga rajin menulis, baik tulisan arsitektur maupun budaya. Yang saya ketahui, di antaranya saja, yaitu Christian Sinar Tanujaya, Prasasto Satwiko, dan Djarot Purbadi. Di luar almamater, saya pernah membaca tulisan bahkan bukunya Darwis Khudori, dan Eko Budihardjo.

Ada juga arsitek yang juga penulis lainnya, yang di kemudian tahun saya ketahui. Teguh Setiawan, Rukmi Wisnu Wardani, Indah I.P., Avianti Armand, dan entah siapa lagi. Itu pun karena tulisan-tulisan mereka yang lebih mendalam, yaitu sastra. Maaf, pengetahuan saya terbatas, dan saya bukanlah petugas sensus “arsitek yang penulis” sehingga kurang mengumpulkan nama-nama arsitek lainnya yang juga penulis.

Sebuah Tulisan yang Menggugah

Ada satu cuplikan yang cukup menggugah saya ketika membaca sebuah buku. Tulisan tersebut bikinan Eko Budihardjo. Di mana, dan apa cuplikan itu?

Pada halaman Prakata dalam buku Aristektur : Pembangunan dan Konservasi (Jakarta: Djambatan, 1997), Eko Budihardjo menulis, “Sebagian arsitek Indonesia lebih merasa asyik dengan merancang di atas meja gambar, dan tidak terlalu tertarik dengan menuangkan gagasan dalam wujud tulisan. Budaya lisan masih lebih dominan ketimbang budaya tulis. Padahal tanpa adanya tulisan yang mengungkap keberhasilan maupun kekurang-berhasilan karya arsitektur, para arsitek muda generasi mendatang tidak dapat belajar banyak dari para seniornya. Selain itu, sang perancang pun tidak memperoleh umpan balik yang dapat didayagunakan agar perancangan karya arsitektur berikutnya menjadi lebih baik.”

Di samping tergugah, tentu saja, saya sepakat. Bagaimanapun dominannya bahasa lisan, tetaplah bisa diterjemahkan dengan bahasa tulisan karena bahasa lisan menggunakan huruf, kata, frasa, kalimat, dan seterusnya. Persoalannya, bahasa lisan sangat mudah “diterkam” angin, dan sebagian saja yang “direkam” kepala, ya, kepala para pendengar pada saat bahasa lisan disampaikan. Persoalan paling darurat adalah daya ingat, analisis, dan seterusnya.

Akan tetapi, sepakat pada secuplik tulisan 20 tahun silam bukanlah berarti seketika menjadi sebab yang mutlak bagi saya untuk menulis, termasuk catatan cacat satu ini. Pasalnya, menulis bukanlah suatu kegiatan yang pernah menjadi kegemaran, apalagi jika nekat menjadi cita-cita saya.

Kesimpulan Sesaat

Jadi, apakah seorang arsitek bercita-cita menjadi penulis merupakan suatu kabar yang mengejutkan? Tentu mengejutkan dalam lingkup pergaulan kecil di Balikpapan setelah 8 tahun saya bersama rekan-rekan arsitek setempat.

Tetapi, ya, terserah saja apa pun cita-cita rekan-rekan arsitek Balikpapan, dan bagaimana tindakan selanjutnya. Semoga tercapai cita-cita tersebut, meskipun saya tidak mengetahui kapan tercapainya karena saya menulis, termasuk catatan cacat ini, tidak lebih dari sekadar menyampaikan apa saja yang terlintas dalam benak saya, dan sebagai bukti sahih bahwa saya sudah tamat Sekolah Dasar.

*******

Panggung Renung, 03-03-2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun