Kemelut yang terjadi di Rumah Sakit Islam Purwokerto telah melebar menjadi seolah-olah perseteruan dua Ormas Islam besar, NU dan Muhammadiyah. Banser Banyumas menilai ada opini menyesatkan yang sengaja dikembangkan pihak-pihak tertentu bahwa Banser NU dengan semena-mena menduduki dan hendak merebut RSI Purwokerto dari beberapa aktivis Muhammadiyah yang selama ini mengelolanya.Â
Hal ini menyusul pernyataan-pernyataan para petingginya seperti Din Syamsudin, Ketua Umum PP Muhammadiyah (Haedar Nashir) dan Sekjen PP Muhammadiyah (Abdul Mu’ti) di media internal mereka diantaranya (Sumber Bacaan: dari sini).
Dalam penyataannya, Sekjen PP Muhammadiyah (Abdul Mu’ti) misalnya menyatakan bahwa ‘fardu ‘ain bagi KOKAM untuk mengamankan dan menyelamatkan asset Muhammadiyah’. Dalam nada yang emosional, Sekjen Muhammadiyah bahkan menginstruksikan pengerahan pasukan KOKAM se Jateng adalah untuk ‘menjaga RSI Purwokerto sampai titik darah penghabisan. Pernyataan petinggi Muhammadiyah ini menurut Banser Banyumas  seolah melengkapi langkah sistematis dan terencana para pengurus PDM Muhammadiyah untuk mengalihkan status pemilikan RSI Purwokerto dari Yayasan Rumah Sakit Islam menjadi milik Muhammadiyah sepenuhnya dan mengalihkannya menjadi unit pendidikan di bawah fakultas kedokteran UMP.
Terkait dengan hal tersebut, Banser Banyumas menilai , ada banyak kesalahan mendasar dari pernyataan para petinggi Muhammadiyah dalam menanggapi kemelut seputar RSI Purwokerto. "Pertama, NU secara organisatoris tidak berkepentingan sama sekali untuk mengambil alih pengelolaan RSI Purwokerto. Yang dipersoalkan adalah klaim kepemilikan sepihak RSI Purwokerto oleh Muhammadiyah dan perubahan Yayasan Rumah Sakit Islam dari yayasan mandiri menjadi di bawah kendali penuh Fakultas Kedokteran UMP", kata Muktamir, aktifis Banser Banyumas. Hal itu menurutnya tidak saja ditentang oleh para karyawan RSIP sendiri namun juga banyak elemen masyarakat lainnya. "Termasuk Banser juga menentangnya dan oleh karna itu kami ikut mendukung gerakan karyawan untuk ikut mengembalikan RSIP menjadi milik yayasan yang independent, bukan untuk merebutnya", kata Muktamir.
Kedua, menurutnya,meskipun pendirian Yayasan Rumah Sakit Islam dan RSI Purwokerto digagas oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah Purwokerto pada awal 1980an, Yayasan Rumah Sakit Islam dan RSI Purwokerto hanya mungkin terwujud berkat hasil usaha bersama seluruh umat Islam di Kabupaten Banyumas lewat sumbangan sukarela yang ditarik dari para orang tua siswa dan guru/PNS di Banyumas. Sangat disayangkan jika RSI Purwokerto yang merupakan hasil gotong royong seluruh warga Muslim lintas Ormas kemudian diklaim sepihak hanya milik Muhammadiyah saja. Klaim pemilikan sepihak atas lembaga yang dibangun dari hasil sumbangsih semua pihak akan menjadi preseden buruk bagi semangat gotong royong dan ukhuwah islamiyah di masa mendatang.
"Ketiga, pelaporan kepada Polri atas pendudukan dan pengambilalihan asset Muhammadiyah adalah tidak berdasar dan salah alamat. Selama berpuluh tahun, Yayasan Rumah Sakit Islam dikelola sepenuhnya oleh orang-orang dengan afiliasi ke Muhammadiyah. Penguasaan dan dominasi orang-orang dengan afiliasi ke Muhammadiyah di Yayasan Rumah Sakit Islam selama berpuluh tahun tidak pernah dipersoalkan. Persoalan muncul di internal rumah sakit ini hanya ketika mereka dengan sengaja ingin mengalihkan status RSI menjadi milik Muhammadiyah dan mengalihkannya untuk dikelola oleh Fakultas Kedokteran UMP", kata Muktamir, yang juga Ketua Aliansi Masyarakat Banyumas Peduli RSIP.Â
Keempat, menurut Muktamir, penggunaan cara preman dan kekerasan dalam kemelut seputar pengelolaan RSI Purwokerto oleh siapapun dan dengan cara apapun tidak dapat dibenarkan. Kekerasan fisik justru dialami oleh para karyawan RSI Purwokerto yang menolak alih status oleh orang-orang yang disewa Yayasan untuk mengintimidasi mereka yang menolak alih status Yayasan Rumah Sakit Islam. Mengalamatkan penggunaan kekerasan dan premanisme ke pihak luar seperti Banser oleh karenanya adalah memutarbalikkan fakta. Kedatangan Banser justru untuk membela karyawan yang diintimidasi oleh preman yang disewa yayasan.
Kelima, seruan penggunaan KOKAM dari luar daerah untuk mengamankan dan mempertahankan RSI Purwokerto sampai titik darah penghabisan adalah pernyataan yang provokatif dan jauh dari semangat cinta damai dan mengedepankan hukum seperti digembor-gemborkan para petinggi Muhammadiyah.
Dari paparan di atas jelas bahwa apa yang terjadi di RSI Purwokerto bukanlah konflik Muhammadiyah dengan NU tapi konflik yang dipicu oleh keserakahan segelintir orang di elit pimpinan Muhammadiyah daerah dan pusat yang berusaha mengangkangi sebuah lembaga yang didirikan dari hasil swadaya masyarakat Muslim Banyumas.Â
iA mengatakan, biarkanlah RSI Purwokerto kembali statusnya seperti semula dibawah yayasan yang mandiri bukan dikangkangi sebagai milik Muhammadiyah saja. Peran penting para tokoh Muhammadiyah dalam gagasan pendirian RSI Purwokerto adalah fakta sejarah yang harus diakui, tapi mengklaimnya sebagai milik dan hasil amal usaha Muhammadiyah menurutnya adalah kebohongan besar yang menciderai semangat gotong royong dan kebersamaan lintas Ormas yang telah menjadi jati diri RSI Purwokerto sejak awal pendirian dan perkembangannya sebagai lembaga pelayanan kesehatan.Â
Perkembangan terakhir, polemik RSIP saat ini sudah ditangani oleh Pemkab Banyumas yang membentuk tim independent bersama jajaran Forkompimda, MUI dan Forum Kerukunan Antar Umat Beragama untuk menyelesaikannya. ##
Tentang Polemik RSIP apa dan bagaimana bisa dibaca di sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H