Ironi dalam demokrasi. Begitu kata pengamat politik memandang fenomena yang terjadi khususnya pada Pilkada 2020 yang menempatkan Kotak Kosong sebagai kontestan figuran. Kenapa menjadi ironi, disebabkan propaganda  ngawur dari oknum politbiro yang mencoba meniadakan hak-hak konstitusional bagi warga untuk mendapatkan pemahaman utuh tentang keberadaan Kotak Kosong.
Tetapi memang cukup susah mengajak orang berbicara tentang standar manakala ia sudah berisi kepentingan. Di titik ini terasa beban terberat dalam pelaksanaan Pilkada di negeri ini justru adanya penumpang gelap yang mencoba mengaburkan infrastruktur bagan demokrasi itu sendiri.
Padahal keberadaan Kotak Kosong itu jelas-jelas konstitusional. Ia ada karena diadakan, sebagai kontestan pendamping yang mana di wilayah tersebut hanya terdapat Calon Tunggal. Logikanya, kalau tidak ada Kotak Kosong, untuk apa juga harus ada Pilkada. Tinggal lantik beres.
Tidak perlu membuang-buang anggaran hingga lima puluh miliaran misalnya, kalau itu hanya sekadar drama. Tidak perlu membuat perhatian masyarakat terpecah konsentrasi ditengah menghadapi pandemi dan lain sebagainya. Anggaran yang ada bisa dialokasikan untuk membangun pasar di tingkat Kecamatan, atau memberesi jalan hingga banyak kilometer.
Ironi lainnya adanya agitasi yang melancarkan vonis sesat dan zalim terhadap masyarakat yang mencoba memberikan penjelasan tentang Kotak Kosong. Memilih Pemimpin itu memilih orang bukan memilih kotak, atau jika Kotak Kosong menang itu akan mengakibatkan pemborosan anggaran dikarenakan harus ada Pilkada ulang dan banyak lagi alasannya.
Semakin diteruskan menjadi semakin gamblang siapa sebenarnya yang sesat dan sedang berusaha membodohi masyarakat dengan pandangannya yang zalim. Semua orang juga paham bahwa tidak mungkin hanya sekadar kotak kosong akan menjadi Pemimpin. Tetapi permainan kata serupa itu jelas sebuah kekonyolan yang tidak pantas dipertontonkan di muka publik. Menganggap masyarakat bisa dibodohi, padahal dirinya sendiri yang dungu. Â
Sekali lagi Kotak Kosong itu menjadi ada karena ia memang diadakan. Sebagai bagian pelaksanaan dari sebuah sistem demokrasi. Memilih Kotak Kosong bukan berarti menjadikan Kotak Kosong sebagai Pemimpin. Melainkan sebagai bentuk keinginan dilaksanakannya Pilkada ulang supaya pilihan yang ada lebih beragam dan rasional disebut sebagai Pilihan Kepala Daerah.
Boros tidak boros, besarnya sebuah anggaran dalam pelaksanaan demokrasi itu keniscayaan. Bukankah dalam banyak momen kita juga selalu mengalokasikan anggaran hingga dua putaran untuk kontestasi yang diikuti oleh banyak pasangan? Jangan suka membodohi orang yang benar-benar tidak tahu, agar hatimu bersih dan jiwamu merdeka. Bukankah harusnya begitu jika kita memang hendak merefleksikan tindakan adil senyatanya.
Pilkada 2020 sudah seharusnya menjadi momen bagi kita semua untuk mencari hidayah dalam demokrasi. Mencari petunjuk yang benar dalam menentukan pilihan yang penuh keberagaman. Demokrasi adalah sebuah proses, yang esensinya adalah kesanggupan menerima adanya perbedaan. Kalau tidak begitu, bukan demokratis namanya. Kita tengah berproses.
Berjuang meraih kekuasaan silahkan. Yang utama jangan menimbulkan pergolakan. Hidup itu dekat karma. Seberapapun kekuatan engkau galang, kemenangan tentu saja hanya milik Allah. Yang Maha Kuasa memberi kekuasaan dan meruntuhkannya dalam sekejap sebagaimana Ia kehendaki. Apa yang sudah tertulis takkan terlepas, apa yang akan terlepas sudah tertulis. Wallahu A'lam bi-shshawb.
Wonosobo, 3 Oktober 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H