Emha Ainun Nadjib, atau orang sering menyebutnya dengan Cak Nun, adalah salah satu guru saya. Guru bukan dalam konteks secara institusi resmi, tetapi guru sorogan.
Ia menjadi satu dari sekian guru-guru saya selain Mbah Leman di Parakan, Mbah Idris di Kembang Sari, Mbah Muh di Mbejaten, Mbah Syam di lereng Sindoro, Gus Huda, Gus Yusuf, dan banyak lagi nama yang saya sering njaluk suwuk (minta pencerahan) saat nalar mampet menghadapi persoalan.
Guru dalam arti untuk beberapa hal menjadi idiom ke-tariqah-an saya. Sementara untuk hal-hal yang bersifat privat tentu sangat tak wajar kita memaksa terlibat atau sok-sokan menjadi bagian di dalamnya.
Dengan begitu posisi ini tidak menempatkan kami (baca: saya) secara linier dalam kedudukan serta kewajiban yang rumit. Guru-guru menyampaikan apa saja dan apakah kita akan menggunakannya atau tidak itu pilihan kita sendiri. Inilah bedanya memahami sosok guru sebagai pimpinan dari sebuah kepentingan dan guru sebagai sosok guru pribadi.
Anda bisa memilih Karl Marx, Sun Tzu, Mahatma Gandhi, Khalil Gibran, Abah Guru Sekumpul, Gus Dur, Soekarno, dan nama-nama lainnya lagi yang sekira Anda pikir bisa memberikan inspirasi secara pribadi. Di titik lain Anda merdeka untuk memilah dan memilih keputusan yang terbaik bagi diri sendiri.
Guru Anda adalah tesis bagi kehidupan Anda saat ini, dan ia menjadi sintesa yang sangat mustahil Anda hindari antitesisnya dalam kehidupan senyatanya. Oleh karena itu menjadi penting juga untuk memahami hal-hal yang sifatnya pribadi, serta sisi-sisi lain dalam hubungannya keilmuan.
Beberapa hari lalu cukup banyak orang membicarakan Cak Nun. Beberapa orang juga sempat bertanya kepada saya terkait statemennya yang merasa terhina jika harus ke istana negara. Lalu saya harus menjawab apa?
Ia adalah guru saya, itu satu hal pasti. Namun terkait hal yang bersifat pribadi, ilmumu sepiro sok-sokan sok tahu dan gegabah serta jumawa nimbrung di dalamnya?
Cak Nun, untuk beberapa hal, pernah ada dan tinggal di istana negara. Ia juga dikenal dekat dengan beberapa petinggi bahkan Presiden di negeri ini. Lalu argumentasi apa yang saya punya untuk bisa menjawab pertanyaan seputar Cak Nun.
Saya yang orang gunung. Saya yang kalau ke Jakarta paling kliteran di sekitar Monas dan pasar Tenabang. Lihat foto istana negara paling juga di google. Modar sendiri kalau saya harus menjelaskan akar sebab Cak Nun merasa terhina jika harus ke istana negara (saat ini).
Apakah disebabkan begitu banyak orang berilmu ternyata kehilangan disiplin ketegakan ilmunya saat kemudian sudah berada di dalam istana. Ataukah sebab madharat lain yang tidak bisa saya tangkap secara kasat mata. Tentu itu semua bukan wilayah saya.
Katakan Cak Nun sudah pernah menjadi "pacar" dan bahkan "tinggal bersama" dengan "Istana". Katakan pula bahkan ia pernah meninggalkan "benih-benih reformasi" di sana. Kisah berikutnya adalah momen yang pasti hanya Cak Nun sendiri yang tahu, kenapa ia begitu marah lalu mengambil sikap "purik" ora patheken dengan "Istana".
Analogi inilah menurut saya yang harus menjadi prinsip keseimbangan dalam mengambil kesimpulan. Bukan hanya untuk saya yang pastinya masih berharap bisa lebih banyak menimba sumur ilmunya, tetapi juga untuk memberi rujukan jika Anda dalam posisi seperti saya.
Oleh sebab sudah merasa "purik" dengan Istana, maka saya tidak akan mengungkit-ungkit hal "bekas pacarnya" yang Istana (yang mungkin sudah doyan politik) itu di hadapan Cak Nun. Dan oleh karena sebab Cak Nun juga telah meninggalkan benih reformasi yang barangkali "menurutnya" sekarang sudah kadung jadi anak baligh yang "nakal" di sana, maka kepada "Istana" sebagai Ibu Negara jika ia bertanya bagaimana kabar Cak Nun, saya akan menyampaikan sebisanya.
Akan halnya sekali lagi siapalah saya. Prinsip kata, saya tidak akan mencampuri persoalan ideologis Cak Nun dengan Istana. Namun halnya terkait persoalan-persoalan biologis Ibu Negara yang pengin tahu keberadaan "Bapak-bapaknya" hari ini, tentu itu menjadi bagian ke-ta'dzim-an yang lain bagi kita semua secara pribadi terhadap Negara.
Begitu saja kok repot. Beruntunglah Indonesia yang memiliki Cak Nun dengan lingkar Maiyah-nya yang membebaskan. Ia tidak menempatkan musuhku harus menjadi musuhmu dan musuh kita semua. Tetapi ia menggelorakan kemerdekaanmu adalah cintaku dan cinta kita semua untuk menciptakan generasi maju yang adil sejahtera dan bermartabat.
Wonosobo, 10 Mei 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H