Demokrasi di Indonesia tak jarang menghasilkan kejutan paska perhelatannya. Beragam survei yang dilakukan sebagai tester kecenderungan terhadap paslon yang ada kerap dibuat bingung dengan perubahan yang ada. Tetapi ini tidak aneh. Survei dilakukan pada waktu yang terukur, sementara dinamika perubahan bisa terjadi dalam sekejap mata.
Mengutip hasil survei Litbang Kompas Maret 2019 ini (yang terkejut sendiri dengan hasil surveinya), dimana mencatat selisih elektabilitas antara pasangan Jokowi-Ma'ruf dan Prabowo-Sandiaga kian menipis sesungguhnya merupakan hal yang lumrah terjadi pada alam demokrasi terkini. Persoalan-persoalan yang tumbuh dalam kemasyarakatan sangat rentan pada dampak isu publik, entah itu kemudian memberikan sentimen positif ataupun negatif.
Pilpres 2019 yang akan dilaksanakan 17 April nanti barangkali benar jika disebut tinggal menunggu hitungan hari. Akan tetapi, walau tinggal sebentar, jeda waktu yang masih ada ini bisa jadi sungguh menambah kejemuan bagi sebagian masyarakat yang menginginkan hirup pikuk Pilpres ini segera berlalu.
Efeknya, dampak dari kejemuan ini bisa menghasilkan sesuatu yang diluar perkiraan. Bisa jadi saking muaknya terhadap aktivitas propaganda politik yang disusun begitu rupa, lantas menumbuhkan kecenderungan abai terhadap perhelatan yang ada. Semakin sebuah pihak melakukan kampanye, semakin berkurang simpati dukungan terhadapnya.
Sebab utamanya hari ini kita dikepung beragam persoalan yang sangat komplek, termasuk adanya penyelenggaraan even demokrasi digelar dalam waktu yang begitu berdempetan. Di beberapa wilayah akhir tahun 2018 masyarakat sudah dibikin sumpek dengan pelaksanaan Pilkades. Akhir tahun 2019 nanti Pilkades lagi, dan tahun 2020 Pilkada serentak. Tak pelak geliat demokrasi ini tidak memberikan nafas yang cukup longgar bagi masyarakat untuk sedikit tenang.
Kondisi ini yang membuat apa yang kemudian menjadi hasil survei Litbang Kompas adalah keniscayaan. Beberapa kebijakan Paslon 01, sejauh yang saya tangkap pada lingkungan sekitar, benar-benar menjadi blunder kampanye.Â
Adanya kenaikan tunjangan, gaji ke-13 dan 14, satu sisi memberikan kegembiraan bagi masyarakat. Tetapi bagi masyarakat tanpa gaji tetap, jelas semakin membuatnya merasa kian tak terperhatikan.
Sebentar lagi masuk Ramadhan, dan kemudian Idul Fitri. Sebentar lagi anak-anak masuk atau lulus sekolah, dan kemudian kita berbicara anggaran lagi. Belum lagi kebutuhan lain-lain dalam kehidupan bersosial dan bermasyarakat.
Pilpres penting, memilih pemimpin penting, namun tentu saja tidak lebih penting dari hajat kebutuhan hidup manusia yang utama. Pilpres menjadi tuntutan umum, dibalik desakan kebutuhan primer kehidupan sehari-hari yang berjalan terus tanpa titik koma. Di titik inilah barangkali rahasia dari sebuah dinamika yang memicu munculnya perubahan elektabilitas bisa ditandai sejelas-jelasnya.
Indonesia bangsa yang besar. Apapun yang terjadi April 2019 nanti, nampaknya rakyat sudah siap menghadapinya. Utamanya, karena rakyat sudah merasa memiliki kehidupannya sendiri. Rakyat siap menyongsong pengantennya demokrasi. Entah "penganten anyar" bagi mempelai yang mengganti pasangan, atau pun "penganten anyar" yang baru sama sekali.
Wonosobo, 23 Maret 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H