Fenomena angka 80.000.000 pada pekan-pekan ini benar-benar telah membuat geger Indonesia hingga menjadi trending topic perbincangan publik Nasional. Entah dengan maksud hendak memberikan peringatan apa Tuhan menempatkan angka 80.000.000 (tanpa menyebut ukuran, volume, dan satuan ukuran lainnya) ini menjadi episode pembuka kejadian diawal tahun baru.
Kisah tentang 80.000.000 dibuka dengan beredarnya kabar terkait adanya tujuh kontainer surat suara yang berisi 80.000.000 lembar kertas suara pemilu 2019 sudah tercoblos. Terkait hal ini pihak KPU dan Bawaslu langsung mengecek kabar tersebut di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara pada hari Rabu (2/1/2019) malam.
Walau terbukti itu merupakan kabar hoax, tak pelak kejadian ini berbuntut panjang mengingat surat suara adalah logistik utama pemilu yang pengadaannya menjadi tanggung jawab penuh KPU. Betapa tidak, 80.000.000 lembar kertas suara dari sekitar 192 juta pemilih tetap yang telah terdaftar bisa dihitung berapa prosentase kerusakannya jika itu memang terjadi.
Belum lagi usai gegeran kejadian di atas, situasi Nasional kembali diguncangkan dengan fenomena geger 80.000.000 yang baru. Kali ini urusannya bukan lagi soal surat suara, akan tetapi coblos mencoblos yang lain, yakni dugaan adanya prostitusi online.
Tepatnya pada Sabtu (5/1/2019) sekitar pukul 12.30 WIB, Subdit V Siber Ditreskrimsus Polda Jatim menciduk dua orang aktris FTV di sebuah kamar hotel di Surabaya, Jawa Timur, terkait dugaan voluntary prostitution. Hebohnya, salah satu aktris terciduk dalam peristiwa itu disebut-sebut mematok tarif 80.000.000 rupiah untuk sekali kencan.
80.000.000 (baca: delapan puluh juta) sebagai satuan jumlah, sebenarnya tidak serta merta bisa disebut atau dimaknai besar ataupun kecil. Dalam hal yang terkait pengadaan surat suara, jumlah 80 juta dari 192 juta tentu artinya sangat besar. Akan tetapi, angka 80 juta di hadapan bilangan lain yang tak terbilang tentu tak memiliki makna apa-apa.
Di banyak kota besar tak terhitung jumlah sosialita yang membelanjakan uang ratusan hingga miliaran rupiah untuk sesuatu yang secara esensi hanya untuk pemenuhan gaya. Orang beli tas misalnya. Harga seratus juta dibeli, dua ratus tiga ratus bahkan satu miliar lebihpun dibeli lagi, selanjutnya ditumpuk begitu saja.
Tarif 80 juta yang dipatok aktris FTV kita (mohon maaf bukan maksud saya melakukan bullying, hanya untuk pembanding) tidaklah bisa dimaknai tarif tinggi. Resiko yang kemudian akan diterima pihak yang melakukan voluntary prostitution (jika memang benar) sudah pasti jauh lebih besar dibanding cost yang dikeluarkan orang berduit dalam memuaskan hawa nafsunya.
Substansi orang hidup hari ini adalah prestise, esensinya ingin diakui. Tidak penting berapa biayanya, lebih penting siapa orangnya. Semakin tinggi nilai orangnya (barangnya), semakin tidak penting memikirkan resikonya.
Maaf. Sekali lagi saya mohon maaf, jika untuk lebih bisa menjelaskan tema 80.000.000 ini kemudian harus mengungkit luka seseorang. Saya jelas tidak tahu bagaimana psikologi seorang gadis kota, seperti halnya aktris FTV kita itu, yang tumbuh besar hanya dengan ayahnya disebabkan sang ibunda telah lama meninggal dunia. Semoga kita bisa adil dalam mengambil sikap, dan tidak terus-terusan menggunakan tagar 80.000.000 menjadi komoditas pikiran kita yang iseng (dan mungkin berisi kecabulan pula).
Angka 80.000.000 yang hari ini menjadi viral, barangkali akan lebih pas untuk lebih melahirkan kehati-hatian kita. Karena kita tidak pernah tahu apa maksud Tuhan sebenarnya. 80.000.000 muncul serentak pada waktu yang tidak bisa dikatakan berjeda, dalam dimensi spiritual ini memiliki banyak makna.
Politik dan prostitusi, jelas memiliki jenis kelamin yang berbeda. Namun kita tahu benar untuk satu kepentingan yang lain, kedua-duanya bisa dimanfaatkan sebagai tunggangan yang sama.
Wonosobo, 7 Januari 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H