Indonesia kembali berduka. Pagi ini pesawat Boeing 737 MAX 8 milik Maskapai Lion Air jatuh di laut. 189 orang meninggal, termasuk kru dari pesawat. Tragedi ini menambah jumlah korban warga negeri kita setelah sebulan sebelumnya bencana gempa dan likuifaksi di Sigi Palu dan Donggala menelan lebih dari 2000 jiwa.
Bencana dan tragedi. Walaupun memiliki sebutan yang berbeda, keduanya memiliki tuntutan yang sama, harus segera ditangani. Tindakan pemerintah sudah benar dengan memberikan komando terintegrasi untuk melakukan pencarian dan pertolongan terhadap korban secepat mungkin.
Kita semua berduka. Tak boleh ada yang memperkeruh suasana. Jika ditengah segala upaya untuk melakukan penyelidikan atas peristiwa yang terjadi kemudian terjadi saling tuduh dan berkembang liar bahkan berujung dengan saling kasus-mengkasus, itu kita bisa sebut bencana sosial yang lain lagi.
Jelang Pilpres dan Pileg tahun 2019 ini memang banyak sekali orang latah. Bencana seringkali dihubung-hubungkan dengan adanya kepemimpinan yang tak amanah lalu harus segera diganti dan sebagainya. Orang selalu mengkaitkan segala sesuatu dengan puncak kekuasaan, tetapi melupakan kebajikan bahwa mentarget kekuasaan itu sejatinya merupakan akar persoalan tersendiri.
Apakah politik membutuhkan tumbal? Kekuasaan barangkali memiliki caranya sendiri dalam meraihnya, yang bisa jadi menumbuhkan korban, tetapi hanya serupa tumbal namun sama sekali jelas tak layak disebut bencana.
Yang orang sering lalai dan cenderung mengabaikan itu justru bagaimana kita bisa menyusun cara-cara mendirikan pondasi kekuasaan itu dengan menjaga etos sakral dan tidak semata menghalalkan segala cara.
Seperti halnya orang mendirikan rumah, menyiapkan perkawinan. Menjadi pemimpin atau pun wakil rakyat sejatinya juga tidak boleh mengabaikan nilai-nilai kesakralan tersebut. Nilai-nilai kesakralan yang secara humanisme sosial bisa kenali dalam menjaga hubungan dengan manusia dan alam sekitar.
Sejauh ini saat terjadi peristiwa politik seluruh energi alam diaduk-aduk, di gunung orang mencari jimat, di laut orang meminta sambat. Intinya bagaimana agar kekuasaan bisa didapat, apapun caranya. Orang melakukan ghibah, orang melancarkan fitnah. Maka di titik inilah sebenarnya bencana politik tengah terjadi.
Dampak dari ini adalah pasokan energi listrik menyusut, alam hilang keseimbangan, kekacauan frekwensi, dan nalar kemanusiaan terdistorsi. Kondisi ini jelas akan membuat segala sesuatunya menjadi tidak efisien, mengganggu kestabilan orang dalam berfikir dan berusaha dalam upayanya memaksimalkan nasib mereka sendiri.
Dimensi alam seperti sebuah rumah. Jika penghuninya kehilangan kendali maka segalanya akan rusak. Anak-anak menjadi korban, rumah menjadi berantakan, pertikaian menumbuhkan bencana dan tragedi. Perhatikan berapa banyak terjadi bencana alam dan tragedi kemanusiaan acapkali berlangsung momen-momen suksesi. Tahun 1998, 2004, 2009, 2014, dan banyak lagi tahun-tahun yang mengiringinya.
Itulah kenapa kursi kekuasaan tidak boleh ditafsirkan asal-asalan, perjudian ibarat main lotre, memanipulasi publik dengan segala atribut pencitraan, janji-janji aspirasi, sekadar berbagi foto selfi dan sebagainya.