Mohon tunggu...
Gusblero Free
Gusblero Free Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis Freelance

Ketika semua informasi tak beda Fiksi, hanya Kita menjadi Kisah Nyata

Selanjutnya

Tutup

Politik

Saiyag Saekapraya, Jangan Hilang Arah!

9 Agustus 2014   01:25 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:01 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

PILPRES 2014 usai, namun itu tidak berarti selesainya sebuah hajatan kebangsaan. Setelah Pemimpin baru ditingkatan nasional terpilih, tentu kemudian dibutuhkan adanya pemimpin-pemimpin daerah yang bisa mengaudopsi regulasi kebijakan dari pusat secara tepat agar proses sustainable program, proses melanjutkan kembali pembangunan Indonesia secara utuh juga akomodatif dengan muatan-muatan lokal selaras mana daerah itu berada. Bermuara dari hal semacam inilah apa yang dinamakan ‘negara mawa tata, desa mawa cara’ kemudian akan bisa ditransfer dan ditransformasikan dalam kehidupan senyatanya.


Denpasar, Rembang, Wonosobo, sama seperti kota-kota lain di Republik ini, juga akan berbenah. Ini adalah masa-masa yang sangat penting dan krusial bagi manapun daerah untuk memilih Pemimpin yang dalam istilah tembang kuno disebut-sebut sebagai ‘cah angon menek blimbing’, seseorang yang akan mampu angon, mengelola masyarakat menuju kemandirian. Walau pun ‘lunyu’, jalannya tidak mudah, namun penting karena akan bisa membawa rakyat kepada kegembiraan raya yang ‘gedhe rembulane, jembar kalangane’.


Tidak bisa dipungkiri, terpilihnya Presiden baru yang membawa angin segar keterbukaan dalam segala lini, juga menumbuhkan semangat baru bagi banyak warga Indonesia untuk ikut ‘saiyeg saekapraya, cacut taliwanda’ membangun daerahnya masing-masing. Trend Jokowi effect telah menjadi semacam new wave, arus baru perubahan yang mensemesta di negeri ini. Pun begitu harus juga disadari, patron effect tidak kemudian mutlak menjadi simbol kejayaan patriarkhi yang bias gender. Nyata-nyatanya toh di Jawa Timur misalnya, kita juga bisa menemukan tipikal leadership yang mirip-mirip Jokowi dalam sosok perempuan Tri Rismaharini.



Begitulah menuju babak baru untuk mewujudkan Indonesian Dream yang lebih sempurna lagi, segenap gerakan harus diselaraskan bersama. Yang di pusat bergerak, yang di daerah juga bergerak, yang di pusat berbenah, yang di daerah juga tidak boleh kehilangan arah. Maka jika semuanya bisa menjadi satu formula gerakan kebangsaan yang rapi, tidak akan timbul ketimpangan sebagai warga Negara dalam wujudnya mendapatkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.


Yang perlu dicermati, sesuai dengan Rancangan Undang-Undang tentang Pilkada yang hampir selesai dirampungkan, bahwa kemungkinan Pilkada ke depan tidak akan memilih pasangan Bupati dan Wakilnya atau Walikota dan Wakilnya. Pendekatan formalistik yang digunakan adalah seperti apa yang tertulis dalam Pasal 18 (ayat) 4 UUD 1945 yang menyatakan bahwa yang dipilih secara demokratis adalah Gubernur, Bupati, dan Walikota. Amanat konstitusi ini jelas secara litterlijk menyebutkan konstitusi hanya mengamanatkan pemilihan kepala daerah saja tanpa menyebut jabatan wakil kepala daerah. Penafsiran ini juga sesuai dengan kenyataan bahwa UUD 1945 selalu menyatakan secara eksplisit posisi jabatan-jabatan yang ada dalam pemerintahan. Sebagai contoh jabatan ‘ Wakil Presiden’ itu dinyatakan secara tegas, kemudian ‘Menteri’, ‘Duta Besar’ dan lainnya.


Dengan demikian, pembentuk undang-undang memiliki keleluasaan untuk mengatur jabatan wakil kepala daerah. Artinya, bisa saja Gubernur, Bupati dan Walikota dipilih dan memegang jabatan tanpa didampingi wakil. Spirit ini juga menemukan padanannya dalam pelaksanaan pemerintahan sejauh ini, faktanya apa yang selama ini disebut Pertanggung jawaban Kepala Daerah secara nyata tidak melibatkan posisi Wakil sebagai penanggung jawab bersama. Contoh nyata, impeachment terhadap Gus Dur sebagai Presiden waktu itu toh secara politis, resiko pengunduran atau apalah istilahnya itu tidak melibatkan Megawati sebagai Wakil atau pasangannya. Maka, agar-agar Undang-undang Pilkada tidak menjadi bersifat ambigu, yang bisa menjadi celah bagi pasangan Pilkada yang kemudian terpilih dan dalam masa pemerintahannya justru berpotensi saling menjatuhkan, akan sangat perlu Rancangan Undang-undang itu benar-benar bisa diwujudkan.


Dan kalau itu yang terjadi, bahwa kita hanya perlu memilih Bupati, Walikota, atau Gubernur sebagai pemimpin tunggal, saya yakin kans untuk kita memilih sosok pemimpin dengan nalar kritis sesuai kebutuhan daerah lambat laun akan berjalan dengan baik. Yang mencalonkan diri akan mengukur kemampuan dirinya sendiri dengan lebih baik, dan rakyat dalam kondisi para calon pemimpin yang semuanya belajar secara irit dalam proses demokrasi ini ‘mau tidak mau toh mereka juga harus memilih’ juga akan bergerak menjalankan demokrasi secara benar.

Jabat erat Indonesia!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun