Mohon tunggu...
Gusblero Free
Gusblero Free Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis Freelance

Ketika semua informasi tak beda Fiksi, hanya Kita menjadi Kisah Nyata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sadumuk Bathuk Sanyari Bumi Diaspora Jawa di Suriname

21 Februari 2015   05:11 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:47 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1424444976349427630

Geger adanya kandidat presiden Suriname, Raymond Sapoen, yang mengkonfirmasi bahwa leluhurnya berasal dari Banyumas, tak pelak menjadi berita hangat triwulan pertama tahun 2015 ini. Apalagi ketambahan data, berdasarkan penelusuran pegiat Paguyuban Sambung Roso Jawa-Suriname, Arie Grobbee, nenek Raymond berasal dari Wonosobo. Ini seperti kembang api yang tiba-tiba menyala di langit kelam, pendaran cahayanya menginspirasi banyak orang untuk kemudian ikut bercerita.

Romantisme Jawa-Suriname sejatinya bukanlah trending topic yang baru pantas dibicarakan sekarang. Jauh-jauh hari, spirit of Sadumuk Bathuk Sanyari Bumi sebenarnya juga sudah menjadi tema sentral pencarian keluarga yang zaman kolonial Belanda porak-poranda jauh terpisah sampai ke belahan dunia. Almarhumah Ibu saya sendiri setiap kali mendengar seseorang bercerita tentang Suriname selalu sigap merespon dengan rona keingintahuan yang tak bisa disembunyikannya.

Ada banyak masa ketika kita dipisahkan dengan keluarga, primordialisme kita merindukan apa pun bentuknya sembarang hal yang berkaitan dengan tanah leluhur sebagai obat kerinduan nostalgia yang untuk beberapa periode lalu tidaklah mungkin diwujudkan dalam pertemuan. Sama halnya barangkali, jangankan melihat keluarga sendiri secara langsung, mendengar kisah atau kejadian di tanah seberang yang berkaitan dengan diri ‘sakdolor sakbangsa’ tak pelak membuat mata kita berkaca-kaca. Sense of belonging, rasa masih memiliki, itu ternyata tak gampang diputuskan hanya karena dipisahkan jarak bumi dan lautan.

Sadumuk bathuk sanyari bumi, begitulah orang bilang. Kata ‘dumuk’ berarti menyentuh dengan jari, biasanya jari telunjuk. Adapun ‘bathuk’ adalah jidat. Bagi orang Jawa, kepala adalah bagian yang paling terhormat, hingga tidak sembarang orang bisa menyentuh kepala orang lain. ‘Sak nyari bumi’ artinya sejengkal tanah. Dalam bahasa sekarang, kalimat sadumuk bathuk sanyari bumi adalah solidaritas  sebagai sesama bangsa yang ‘melu seneng yen krungu kabar sedulure seneng, uga melu ngamuk yen krungu kabar sedulure diremuk’. Tidak peduli itu di mana, sentimen diaspora yang didasari akar perkerabatan ini dalam lakon jagat mana pun pasti akan tetap muncul. Bukankah ini juga yang ikut melatar belakangi konflik di Timur Tengah seakan tidak pernah bisa diselesaikan government to government?

Negara, bisa saja membatasi tanggung jawabnya hanya pada sekelompok masyarakat yang hidup dan bernaung di bawah pemerintahannya, namun apakah Negara sejatinya juga tak paham berapa potensi yang bisa ditumbuhkan bagi kemakmuran bersama saat semangat ‘one nation’ diwujudkan?

Agak mencengangkan dan membingungkan sebenarnya bagi saya. Saat Indonesia merdeka pada tahun 1945, kenapa bangsa kita yang menjadi diaspora di Suriname dan belahan wilayah dunia lainnya tidak juga bisa dimerdekakan? Diaspora (orang-orang yang merantau untuk mencari kehidupan yang lebih baik) Jawa di Suriname sendiri bahkan baru bisa merasakan apa maknanya sebagai warga yang merdeka pada tahun 1975. Sedikit lucu bukan? Sejarah, ternyata masih berupa sebuah data yang diinginkan penguasa. Dan walau begitu, lelakon atau perjalanan nasib manusia diaspora dari Jawa yang lain telah menjadi sejarah dalam kehidupan rakyat Suriname sampai hari ini.

Betapa bebalnya kita, bahkan sampai di hari ini kita masih sering menyukai kacamata kuda untuk tidak mau melihat potensi diaspora anak bangsa yang lebih memilih hidup di negeri manca daripada hidup di negeri sendiri dianggap tidak ada. Diaspora di hari ini bukanlah kisah orang-orang Jawa yang terkena ‘werk’ kontrak kerja yang sebenarnya adalah ‘human trafficking’, namun adalah generasi cerdas yang merasa tidak melihat tempat lagi di negeri ini untuk menumpahkan kreativitasnya dikarenakan lapangan kerja sudah penuh dengan aroma KKN.

Anda boleh tertawa membaca tulisan ini, namun untuk satu dan hal yang lain Anda pasti juga setuju. Kita semua masih percaya tentang Indonesian Dreams, namun kita juga yakin seyakin-yakinnya bahwa hanya dengan kehendak bersama sebagai anak bangsa kemudian negara ini akan bisa maju. Jargon-jargon Merah Putih Indonesia Hebat berikut butir-butir Tri Sakti-nya hanyalah ‘lambe ndomble’ yang secara realitas kedodoran dalam pengejawantahannya.

Berdaulat dalam politik, benarkah? Berdikari dalam ekonomi, terlihat begitukah? Berkepribadian dalam kebudayaan? Nyata-nyatanya anak-anak kita kesulitan memilih lagu wajib karena di televisi idola cilik lebih sumbang menyanyikan lagu kegagalan cinta bagi para dewasa.

Salam Indonesia. Dan mari kita sparing tinju untuk menyambut masa depan yang tak terduga! 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun