Pagi itu setelah sore hari sebelumnya menghadiri buka bersama teman semasa Aliyah saya kembali ke surabaya dengan motoran. Di pagi yang cerah itu di sepanjang jalan pantura saya “bertemu” dengan banyak tokoh-tokoh daerah, beberapa di antaranya juga tokoh nasional yang anda kenal wajah dan perilakunya dengan baik. Hati saya berdebar-debar dan “terharu” dengan beliau-beliau ini.
Bagaimana tidak, saya yang bukan apa-apa dan sama sekali tidak penting tiba-tiba “bertemu” dengan banyak pejabat teras partai politik dan yang tidak saya sangka beliau-beliau ini tersenyum manis dan lucu seraya mengucapkan selamat lebaran disertai permintaan maaf atas kesalahannya. Entah kesalahan apa dan kapan.
Beliau-beliau ini juga memakai baju warna-warni sehingga kesan rame segea muncul. Ada merah kuning hijau biru putih kayak pelangi. Eh bukan ding, kayak bukan pelangi. Tidak hanya saya, banyak pengendara lain yang tertegun dan gembira dengan apa yang dilihat. Sungguh, bagi saya itu pagi yang mengharukan.
Walaupun begitu saya pribadi agak tersinggung, saya merasa beliau-beliau itu tidak punya salah sedikitpun pada saya dan kemudian minta maaf? Sebagai orang yang –mengaku-aku – jawa saya merasa ada semacam sindiran terkandung di dalamnya yang ditujukan pada saya. Akhirnya sepanjang perjalanan kembali keperantauan itu saya berpikir keras.
Mencoba mengingat kembali sampai saya sedikit pusing dan kehilangan konsentrasi berkendara. Apa salah beliau-beliau ini pada saya sehingga sudi-sudinya beliau menghambur-buangkan banyak uang hanya untuk meminta maaf yang menurut saya tidak ada yang perlu dimaafkan. Bahkan terkesan percuma. Ah, perjalan ini menjadi salah satu yang menggelisahkan hampir setara mendebar-debarkannya dengan perjalan dengan dia yang kukagumi.
Saya sendiri berpikir bahwa pejabat-pejabat kita tidak terlalu perlu untuk minta maaf dengan memasang ratusan poster spanduk di sepanjang jalan. Pertama itu menganggu ketentraman dan ketenanggan pengguna jalan seperti saya dan yang kedua karena hal seperti itu adalah sama sekali tidak bermanfaat.
Saya akan lebih senang jika dalam poster-poster itu beliau menampilkan senyumnya (yang menggemaskan) dengan rentetan kontribusi yang telah beliau lakukan selama menjabat. Eman sekali uang yang beliau kumpulkan dengan susah payah harus terbuang percuma untuk sebuah pesan yang mungkin hampir kehilangan makna untuk para pembacanya dan saya yakin juga dari pembuat pesannya.
Pesan-pesan selamat hari raya – dan hari-hari yang lain juga – disampaikan melalui hampir semua media yang kita temui seperti sampah yang kita hasilkan setiap hari. Berlimpah ruah menjejali pandangan dan pendengaran kita dari berpikir jernih. Tidak hanya beliau. Banyak dari kita yang melakukan hal yang sama. Drafting congratulations message and send it to all contact that we have. What an amazing!
Bagi saya memaafkan dan meminta maaf tidak semudah mengirim broadcastdi bbm atau menulisnya di grup whatssapp. Ada hal yang harus saya pikirkan dan renungkan dalam-dalam sebelum saya melakukannya. Ada proses pengendapan pikiran dan refleksi atas yang terjadi di masa lampau. Ada pengakuan yang kadang-kadang sangat tidak mudah dilakukan. Percuma melakukan hal yang tidak diresapi terlebih dulu dan tidak memiliki arti sama sekali. Seperti ucapan selamat dengan broadcast yang saya terima luar biasa melimpah-ruah.
Apa yang bermakna dari sebuah ucapan minta maaf dengan broadcast?
Hal seperti itu tidak mungkin terjadi kecuali kita telah kehilangan makna akan hari-raya. Kita mungkin ingat waktunya, mungkin juga ikut solat pada pagi harinya tetapi banyak dari kita yang lupa tujuannya. Jujur, pikiran saya selalu dipenuhi tingkat abai yang tinggi dan hampir sampai berubah pada jengkel pada hal-hal yang tanpa makna. Seperti broadcast ucapan hari raya anda pada saya – sedikit tidak bercanda.
Apakah yang penting dari sebuah ucapan maaf selain mengakui kesalahan dan rasa penyesalan. Usaha yang sungguh-sungguh untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahan yang sama di hari depan. Inilah yang seharusnya lebih dulu ada di hati sebelum mengucapkannya kepada teman dan keluarga.
Dan tentu ada hal yang perlu dimaafkan –ada kesalahan – yang benar terjadi. Mari kita anggap itu sebagai sarat sah meminta maaf. Tanpa itu kita sepakati pesan maaf yang disampaikan tidak lebih dari salah sambung atau salah tulis saja. Saya kira anda dan saya sama-sama setuju akan hal itu. Atau kalau tidak, saya sudah terlanjur menganggap anda setuju dengan saya.
Saya jadi teringat pesan dari Eyang Mahatma Gandhi “Prayer is not asking. It is a longing of the soul. It is daily admission of one’s weakness. It is better in prayer to have a heart without words than words without a heart.” Rasa-rasanya words without heart itu yang kita temui dalam banyak sisi hidup. Betapa dunia telah berubah menjadi semacam flowchart yang bergerak dari desain yang sama setiap waktu dan teratur. Mengucapkan maaf pada saat lebaran dan mengulanggi kesalahan yang sama esok harinya. Menyenangkan bukan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H