Oleh: Agus Salim, S.Pd.
Poetry is a kind of multidimensional language. Ordinary language – the kind that we use to communicate information – is one dimension. It is directed only part of listener, his understanding. Its one dimension is intellectual. Poetry, which is language used to communicate experience has at least four dimension (1) intellectual  dimension; (2) sensuous  dimension; (3) emotional dimension; (4) imaginative dimension ( Perrine, 1974 : 560)
Ketika berhadapan dengan sebuah karya sastra, orang akan dengan sebegitu mudah akan menyebut, itu  puisi, prosa, atau drama. Bahkan penyebutan itu dilakukan hanya dengan sekali pandang. Orang bisa menyebut genre tertentu dari sebuah karya sastra secara mudah karena memang terdapat pembeda yang mecolok pada ketiga genre tersebut, yakni tipografi.
Pada puisi, tipografi terkait dengan tata bentuk dan tata kebahasaan. Tata bentuk, biasanya diru-pakan secara visual baik keseluruhan maupun seba-gian. Perwujudan bentuk/visualisasi puisi ini sangat berpotensi terjadi penyimpangan terhadap sistem norma kebahasaaan pada umumnya. Karena pemuisi akan lebih mengutamakan perwujudan bentuk puisi sesuai dengan yang dikehendaki ketimbang kebenaran struktur frase, kalimat maupun makna dalam menggunakan peranti bahasa. Pada puisi Tragedi Winka & Sihka, terlihat bagaimana Sutardji Calzoum Bachri memporakporandakan kata Kasih dan Kawin  demi membentuk sudut-sudut yang tajam pada puisinya tersebut. Demikian halnya dengan puisi-puisinya yang lain seperti Kucing dan Bayangkan.
Sedangkan pada tataran tata kebahasaan, tipo-grafi bersinggungan dengan masalah perlakuan pemuisi terhadap berbagai peranti bahasa sebagai media kreasi, seperti bunyi, suku kata, kata, frase,  kalimat atau baris, dan penggunaan tanda baca. Dalam hal ini pemuisi akan memikirkan efek (terutama efek makna dan nuansa) dari pilihan kata, atau susunan  frase, dan struktur kalimat yang dia buat. Sehingga sering kita temui peanggabungan atau perangkaian imbuhan, kata, frase-frase, ataupun kalimat yang tidak lazim. Coba kita lihat beberapa  penggalan puisi berikut
 Ini muka penuh luka
(Berkaca, Chairil Anwar)
Biar susah sungguh
          (Doa, Chairil Anwar)
Pandangnya dilayangkan arah ke barat
          (Bergundah Hati, STA)
Ketidakumuman penempatan kata atau struktur kalimat seperti di atas dilakukan untuk memberikan aksentuasi tertentu atau untuk memberikan nuansa makna tertentu ataupun hanya untuk menghasilkan rima tertentu pada puisi tersebut. Ketidakumuman inilah yang kemudian menjadikan  bahasa puisi terasa khas, unik, dan aneh. Keberbedaan tipografi, di samping merupakan dasar pembeda antar genre juga bisa menjadi pembeda atau kekhasan bagi masing-masing pemuisi itu sendiri.
Penciptaan tata kebahasaan tertentu dalam mencipta puisi, bahkan bisa jadi dilakukan dengan  membatasi jumlah penggunaan kata. Kita sama-sama tahu bagaimana persyaratan pantun, kan? Hal yang sama bisa saja terjadi pada puisi-puisi selain pantun. Sebagaimana akhir-akhir ini telah muncul fenomena baru dalam perpuisian kita, yakni pembuatan puisi yang tipografinya berbasis jumlah kata. Misalnya, puisi patidusa yang ditemukan oleh sastrawan bernama Agung Wibowo atau Agung Wig asal Semarang. Atau puisi Puisi Bonsai, kemudian sering disebut Pusai yang ditemu oleh Sugiono dari Bogor.
Berangkat dari fenomena perpuisian di atas maka lahirlah puisi patarisit. Puisi patarisit merupaka puisi yang tipografinya saya buat dengan format 444. Dalam hal ini berupa puisi yang terdiri atas empat kata, empat baris, dan empat bait. Puisi-puisi ini saya sebut dengan puisi patarisit. Penyusunan puisi patarisit dilatarbelakangi oleh pemikiran sederhana bahwa penyusunan puisi senantiasa diliputi oleh empat dimensi. Yakni  dimensi itelektual, dimensi indra, dimensi rasa, dan dimensi imaji. Berikut contoh puisi patarisit.