Mohon tunggu...
Sholahuddin
Sholahuddin Mohon Tunggu... Jurnalis - Pekerja Media

Laki-laki pencari Tuhan. Lahir di Boyolali, Jateng. Bekerja di sebuah penerbitan pers di Solo.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bahagia Itu Saat Bisa Membahagiakan Orang Lain

31 Desember 2020   19:46 Diperbarui: 31 Desember 2020   21:40 436
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pria tukang becak itu begitu semringah menerima bingkisan menjelang Lebaran yang saya serahkan beberapa bulan lalu. Berulangkali si Bapak mengucapkan "terimakasih" atas bingkisan yang dia terima. "Matursuwun njih Pak," katanya sambil tersenyum cerah.  

Saya ikut senang melihat si tukang becak ini bahagia. Padahal bingkisan Lebaran itu isinya sederhana: beras, gula pasir, minyak goreng dan sedikit uang. Bingkisan itu pun bukan dari kantong pribadi saya tapi dari hasil mengumpulkan donasi teman-teman kantor tempat saya bekerja. Saya kebagian menyerahkan kepada mereka yang berhak. Menjelang Lebaran teman-teman kantor selalu mengumpulkan donasi untuk dibelikan bingkisan Lebaran.

Sesuatu yang sederhana ini ternyata bisa membahagiakan orang lain, sekaligus bisa membahagiakan diri saya. Saya bahagia, merasa lebih bermakna karena bisa membahagiakan orang lain. Ini menjadi prinsip hidup saya sejak dulu. Dalam hati saya ingin selalu membahagiakan orang. Entah itu kepada orang-orang terdekat maupun kepada orang lain. Tentu dengan cara-cara saya sendiri. Ini pandangan subjektif saya.  

Kalau mengacu ke Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bahagia adalah keadaan atau perasaan senang dan tenteram (bebas dari segala yang menyusahkan). Kalau mengacu kepada kamus ini, bahagia adalah soal perasaan. Sangat subjektif.

Setiap orang bisa membangun persepsi dan menentukan kriteria sesuatu yang bisa membuatnya bahagia. Selama "sesuatu" itu menjadi kebenaran publik, dalam batas-batas kewajaran, tentu itu bisa diterima.

Memberi, berbagi dan menyantuni kepada yang berhak menjadi bagian dari cara untuk memberdayakan orang-orang yang lemah, baik secara ekonomi maupun sosial. Orang yang berdaya, tercukupi kebutuhan dasarnya, seperti kebutuhan sandang (pakaian), papan (rumah) dan pangan (makan dan minum) akan punya peluang untuk lebih bahagia daripada orang yang kekurangan.

Orang-orang yang belum tercukupi sandang, papan dan pangan ini jumlahnya besar di Indonesia. Mereka adalah orang yang dikategorikan sebagai orang miskin. Orang miskin adalah orang yang tidak berharta, orang yang serba kekurangan.

Pada Maret 2020 saja, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah orang miskin meningkat 9,78 persen menjadi 26,4 juta. Jumlah ini diperkirakan akan terus meningkat seiring Pandemi Covid-19 yang mengakibatkan krisis ekonomi akut.

Banyak orang kehilangan pekerjaan karena pemutusan hubungan kerja (PHK), banyak orang kehilangan pendapatan, daya beli turun sehingga memengaruhi kondisi perekonomian secara nasional.

Saya tidak mengatakan orang yang dikategorikan "miskin" adalah orang yang tidak bahagia. Kalau merujuk KBBI di atas, kebahagiaan menyangkut perasaan subjektif seseorang. Demikian pula saya juga tidak setuju orang yang berharta atau orang kaya selalu bahagia.

Tapi kalau bicara dalam konteks umum, tentu orang miskin lebih kecil peluangnya untuk bahagia. Karena mereka belum selesai dengan kebutuhan dasarnya. Begitu sebaliknya orang yang tercukupi punya peluang lebih besar untuk bahagia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun