Ratna Sarumpaet dikabarkan dianiaya sekelompok orang, Oktober silam. Informasi  itu menyebar luas di media sosial (Medsos). Mengetahui kabar itu, saya tertartik mengikuti. Posisi Ratna sebagai salah satu tim sukses calon presiden pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga S.Uno membuat kasus penganiayaan itu punya bobot politik tinggi. Bisa mengundang berbagai tafsir dan spekulasi liar. Â
Apalagi Ratna Sarumpaet juga dikenal sering bersuara lantang mengkritik kebijakan pemerintah, terlepas benar tidaknya kritik itu. Dia orang yang prominent (terkenal). Dulu sebagai seniman yang kritis yang kemudian beralih jadi aktor politik.
Secara jurnalistik, informasi penganiayaan itu punya nilai berita (news value) yang tinggi pula, baik bagi jurnalis, media massa, maupun bagi publik. Wajar bila banyak media massa yang beradu cepat memberitakan. Saya sebagai penikmat berita pun ingin cepat mendapatkan kejelasan atas kasus itu.
Usai membaca kabar dari berbagai Medsos, saya mencoba mencari informasi yang lebih lengkap melalui berbagai situs berita. Langkah ini saya lakukan karena informasi yang beredar di Medsos belum bisa saya percaya. Informasi yang belum memenuhi prinsip kelengkapan berita, kaidah yang sangat penting dalam jurnalistik. Â Misalnya kabar penganiayaan itu hanya bersumber dari orang-orang di sekitar Ratna, terutama di lingkaran Capres Prabowo-Sandi. Tak ada pengakuan secara langsung dari Ratna. Tidak ada saksi yang mengetahui secara langsung peristiwa itu. Sekali lagi : hanya pengakuan, itu pun tidak langsung dari orang yang mengalami penganiayaan.
Setelah saya akses mengakses beberapa situs berita, saya kecewa. Saya tidak menemukan sesuatu yang saya cari, informasi lengkap sekaligus kebenaran tentang kasus penganiayaan itu. Beberapa situs berita yang saya akses justru menjadikan media sosial sebagai sumber berita, tanpa melakukan proses verifikasi yang cukup.
Kekecewaan saya ini sangat beralasan. Niat saya mencari kabar itu di situs berita sebenarnya ingin mencari konfirmasi tentang kabar itu. Namun informasi yang saya temukan justru situs berita hanya mendasarkan berita itu dari media sosial. Orang Jawa mengatakan Mbulet. Hanya berputar-putar di situ saja. Tidak hanya di media daring (dalam jaringan), beberapa media cetak harian juga memberitakan "apa adanya" tentang penganiayaan itu. Tentu saja banyak pula media massa yang sangat proporsional memberitakan kasus yang belum jelas konstruksi faktanya itu.
Saat ini memang ada kecenderungan banyak media massa yang menjadikan media sosial sebagai sumber berita, dengan berbagai pertimbangan. Sikap beberapa media massa ini memang membahayakan secara jurnalistik. Meski penggunaan Medsos sangat marak saat ini, tidak semerta-merta setiap informasi dari Medsos bisa dipercaya kebenarannya.Â
Bagaimana pun, Medsos adalah mesin untuk berbagi informasi dan konten. Medsos bukan manusia, yang menjadi aktor penting sumber berita. Di balik Medsos ada operator yang mengatur konten tapi pembaca tidak selalu tahu siapa aktor di balik akun itu.
Meski akun memakai nama tertentu, misalkan tokoh politik, boleh jadi operatornya tidak selalu si pemilik akun. Bisa orang lain. Anda masih ingat kasus Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman saat ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 17 September 2017 silam? Meski sudah ditahan, perangkat komunikasi disita, di Medsos dia masih bisa membantah tuduhan korupsi. Anehnya cuitan itu ditangkap mentah-mentah jadi berita oleh sebagaian media arus utama. Akun Medsos Irman Gusman ternyata dijalankan oleh orang lain.
Media tertipu. Medsos tidak dikelola oleh para jurnalis profesional yang dalam bekerja dituntut memiliki keahlian khusus (jurnalistik), bekerja secara sistematis, dengan standar etika tertentu.Sungguh saat naf bila posisi Medsos yang berada di bawah pers profesional dari sisi tingkat kebenaran, justru dijadikan sumber berita. Saat informasi di Medsos berseliweran, media arus utama seharusnya lebih hati-hati. Media arus utama tetap berpijak pada muruwahnya sebagai media berintegritas, mengedepankan verifikasi ketimbang sekadar asal cepat. akurasi. Â Â
Jelas SumbernyaÂ
Dalam kode etik jurnalistik (KEJ) pasal 2 sangat jelas, Â Wartawan Indonesia menempuh cara-cara profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik. Salah satu penafsiran pasal itu menjelaskan, wartawan menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya. Lebih tegas lagi pada Pasal 3 KEJ, bahwa wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.Â
Penafsirannya, menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu.
Dalam buku Sembilan elemen Jurnalisme ala Bill Covach dan Tom Rosenstiel (2001) menyebutkan bahwa  intisari jurnalisme adalah sebuah disiplin verifikasi. Disiplin verifikasi merupakan langkah yang membedakan jurnalisme dari hiburan, propaganda, fiksi atau seni. Verifikasi berarti menguji atas sebuah informasi sehingga ditemukan kebenaran yang bisa dipertanggungjawabkan secara jurnalistik.
Saya meyakini, media sosial bukanlah sumber yang masuk kategori "jelas sumbernya" seperti makna dalam kode etik itu. Mengutip informasi di Medsos yang menyebar luas (viral) juga bukan dari proses kerja check and recheck itu. Mengutip Medsos apa adanya melanggaran disiplin verifikasi.
Informasi Medsos masuk dalam kategori "tidak jelas" sampai ditemukan konfirmasi kebenaran informasi tersebut. Dengan demikian menjadikan medsos sebagai sumber berita adalah pengkhianatan terhadap kode etik dan prinsip-prinsip jurnalisme.Â
Informasi di Medsos hanya bisa diperlakukan sebagai informasi, petunjuk saja. Untuk bisa dijadikan sumber berita, informasi di Mesos perlu proses verifikasi secara cukup itu. Â Saya meyakini para jurnalis memahami prinsip ini. Tapi karena pertimbangan-pertimbangan bisnis, ingin cepat, atau karena kemalasan untuk menguji informasi itu, maka langkah cepat yang dilakukan adalah mengkopi begitu saja informasi yang viral di Medsos sebagai berita. Pertimbangan pragmatisme yang lebih menonjol ketimbang profesionalitas sebagai jurnalis.
Yang tragis, pada akhirnya kasus penganiayaan Ratna Sarumpaet bohong belaka. Dan itu diakui oleh sang aktor utamanya. Sama saja media yang memberitakan soal penganiayaan Ratna Sarumpaet telah melakukan kebohongan publik.
Parah kan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H