Segregasi akibat aspirasi politik tapi seolah-olah berdasarkan tingkat keimanan seseorang.  Ditambah lagi soal identitas  "gelang" para pelaku insiden CFD mengundang berbagai spekulasi publik.Â
Kita berharap suasana panas Pilpres 2014 tak terulang lagi. Sepertinya harapan itu agaknya sulit terwujud. Pemilu masih kurang satu setengah tahun pun situasi begitu menguras energi. Perang tagar, perang pernyataan, perang kata-kata, perang meme, terus membanjiri dunia maya. Â Insiden di CFD di Jakarta sekadar letupan kecil tapi membutuhkan perhatian besar. Tanpa pengelolaan yang baik tentang segregasi sosial itu bisa berakibat destruktif bagi demokrasi dan keutuhan republik ini. Â
Sayangnya sikap para politikus tak kalah menggelikan. Pernyataan-pernyataan mereka tidak mendewasakan sama sekali. Opini mereka hanya mencerminkan aspirasi politik, tidak lagi melihat dan mengomentari kasus itu dengan kacamata jernih.Â
Kepentingannya sebagai politisi lebih menonjol. Para aktivis partai politik sebenarnya mengemban misi untuk melakukan pendidikan politik kepada rakyat, sebagai implementasi fungsi partai politik. Politisi berkewajiban  memberikan pencerahan kepada publik, terlebih saat terjadi insiden yang berpotensi membahayakan integrasi bangsa. Hasrat sangat besar untuk berkuasa tak perlu mengalahkan akal sehat, apalagi mendekonstruksi nilai-nilai demokrasi.  Â
Demokrasi tak sekadar mekanisme politik. Dari sisi prosedur, tak ada yang memungkiri proses politik di Indonesia cukup mewakili sebagai negara demokrasi. Pemilu bebas, tanpa intervensi negara. Kebebasan perpendapat di ruang publik sangat terjamin. Mau mengkritik pemerintah tidak ada yang melarang selama dilakukan secara elegan. Tapi demokrasi ternyata tak sekadar prosedur.Â
Kualitas demokrasi memerlukan kedewasaan semua pihak, termasuk  kecerdasan warga dalam berinteraksi di ruang publik saat mengemukakan pandangan politiknya. Kualitas, bobot, wacana yang dikembangkan menjadi indikasi penting tentang kualitas demrokasi di Indonesia. Perbedaan saluran politik tak seharusnya dengan memproduksi wacana  tidak mencerdaskan.  Ruang publik tak memerlukan suara asal bunyi para politikus dan buzzer-nya yang tak berkorelasi terhadap kemajuan bangsa ini. Sia-sia...
Perjalanan reformasi selama 20 tahun sepertinya belum memberikan waktu dan proses yang cukup terhadap pendewasaan demokasi bangsa ini. Kualitas demokasi tak jauh berbeda dengan era Orde Baru bila dilihat dari sudut pandang keterbelasan sosial akibat perbedaan identitas kaos yang dipakai. Kaos hanya "aksesori" demokrasi, bukan substansi. Substansi demokrasi pada perilaku menikmati kebebasan segalanya secara elegan dan bertanggungjawab.Â
Sayangnya identitas kaos masih dimaknai seolah-olah itulah substansi berdemokrasi. Jadilah demokrasi (sekelas) kaos...
Solo, 11 Mei 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H